Jatu Cinta





SOMAD
Jatuh Cinta

Namaku Sonmad, lahir di Jurangmangu
Duapuluh tahun yang lalu,
Santri terbaik, calon kyai pilih tanding.

Guru-guruku bilang,

”Kalau toh ada nabi  masih hidup
itu lah Muhammad Sang Musthofa
RasuluLlah dan Khatam para Nabi”

Beliau telah datang padaku
menjadi bapak angkat
di usiaku sepuluh tahun.

Teman-temanku bilang,

”Kalau toh ada bapak paling sempurna
itulah Muhammad  Saw
Lebih baik semua bapak mati muda
agar anaknya-anaknya menjadi yatim,
menjadi anak asuh Rasulullah.”

Namkau Somad, lahir di jurangmangu
duapuluh tahun yang lalu,
santri terbaik, calon kyai pilih tanding.
Kini tubuhku liat, puasa dan buka,
shalat dan olaraga , mencangkul sawah,
dibakar matahari, disepuh rembulan,
kujotos angin, kutendang hujan,

”Somad, jangan takabbur,
meski  kau bintang di langit pesantren
mila nyalahmu terlalu terang
mau akan dipadamkan.
Lebih baik simpan cahaya
di hatimu paling dalam,
karena wudlu yang disempurnakan
shalat dua rakaat, membuat surga terbuka,
melambai 700 bidadari bermata bundar,
jauh lebih berharga dari seluruh isi dunia.”

Ya, guru
’kan kuingat slalu.

”Somad kekasihku,
kita jarang bertemu, Cuma sambil lalu.
Kemarin lusa, wajahmu kulirik
ketika kau angkat batu kali.
Tadi pagi, pura-pura kutak tahu,
kau lirik juga wajahku,
yang segera kututup jilbab biru emas.
Somad, kalau lulus, aku mau jadi istrimu.”

Ya Mutia
’kan ku ingat ’s’lalu.

Maka kuganjal mata dengan pena,
kututup mulut dengan handuk,
agar tak kantuk tak menguap,
kusikat habis bertumpuk kitab kuning,
kuhafal Al-Quran 30 juz,
bermunajat ku setiapmalam,
kuhadiratkan shalawat dan do’a
di seluruh detik hidupku,
sampai badan pendekarku menjadi layu.

Astaga! Ada apa ini?
Lima ratus santri berlatih rebana,
sapi dan kambing di sembelih,
sound system dipanggungkan,
Aku hanya mendengar saja,
jadi kyai lebih menarik dari pesta pora.

”Somad kekasihku,”
Ya Mutia, ’kan kuingat s’lalu.
”Lama sekali kau tak temui aku,
bagai Nabi Yunus tertelan di perut hiu,
duniamu hanya buku, ttak terlihat di sawah,
tak pula di pencak silat,.
Somad kekasihku, aku cemburu,
kelak bila aku jadi istrimu
pasti kau madu aku dengan pikiranmu.”

Ya Mutia ’kan ku ingat s’lalu.

”jadi kuputuskan saja sesuai namaku :
Mutia perempuan awal masuk surga,
aku terpaksa masuk surga mendahului kamu
 jadi kuterima saja lamaran Mat Jaiz
guruku dan gurumu, menjadi suamiku.
pintaku, bila aqad nikah dibacakan,
jadilah engkau saksiku.”

gelap. kobong ini gelap. Kutengok keluar
semua menjadi gelap berasap
sama sekali tak bercahaya.Gelap.
kutinggal semua, lari, pulang.Gelap.
Bapak, bapak, bapak....,di mana kamu?
Bapak, bapak,   di mana kamu?
Bapak....,di mana kamu?
Bapak,..!akau tidak terima!
Ibuku dirampok, kerbauku dirampok
sawahku dirampok, sekolahku dirampok
Mutia_ku dirampok pula!aku tidak terima!

”Somad, jangan sedih, aku Muhammad
Sang Penghibur bagi kaum lemah.”

Ya ya nma saya Somad, Abdul Somad.
Di sini, ada lebih seratus Somad.

”Mengapa kamu tidak wudlu dengan
sempurna, berdo’a dengan sempurna,
shalat tharah dengan ssempurna
berjama’ah 40 hari dengan sempurna
insya Allah semua di berikan kepadamu.”

”Juga Mutia kekasih saya?”

”Ya juga Mutia,tujuh ratus Mutia bagimu.”
Berlari kijang diburu aku kembali
ke pesantren mencium tangan guru
menjadi saksi aqad  nikah Mutia kekasihku.

Kemudian kulewati hari demi hari
mentaati sabda Rasulullah Saw
wudlu, do’a, shalat jamaah.
genap 40 hari
Mat Jaiz, suami Mutia, guruku, berujar :

”Somad, aku tak sadar apa salahku,
Rasulullah menegur dalam mimpi semalam,
mengapa aku berani mengawini Mu tia?
Apakah kau mencintai istriku?”

Tak berani saya menjawab wahai guru.

”Aku tak aniaya. Masa depanmu baik,
pantas jadi suami Mutia, aku ini sudah tua.”

Saya tidak bilang begitu, guru.

”Tapi aku tak tahan melihat deeritamu.
Besok kuhitung waktu iddah
kucerai Mutia untukmu.”

pasti guru tidak sungguh-sungguh.

”Mutia akan kunikahkan untukmu.”

Mutia?

”Aku ingin kalian bahagia.”
Bahagia kata guru?
Aku harus mengawini Mutia,
si buruk rupa dan kasar hati semacam itu?

”Somad ! mengapa?
Guru, tadi malam aku mimpi,
surga terbuka, 700 bidadari bermata bundar,
700 kecantikan Mutia, akan jadi istri saya.


”Allahu akbar. Itu di surga.”
Tidak guru, tidak sekedar mau’ud,
mereka akan maujud juga di dunia,
yang jelas bukan Mutia istri guru.”
Guru dekap tubuhku yang berguncang.

Namaku Somad,
calon suami 700 bidadari.



0 Responses