Husain ibn Mansur al-Hallaj

Martir pertama dalam tasawuf

Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan mana yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."

Kehidupan Al-Hallaj

Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah. Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur'an dan tafsir serta teologi. Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas mengapa ia berbuat demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884M, ia sudah berada dalam tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amr adalah murid Junaid, seorang sufi paling berpengaruh saat itu.
Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga. Tampaknya seorang sahabat Amr yang bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah dengan saudara perempuannya, (Massignon menunjukkan bahwa pernikahan ini mungkin punya alasan politis lantaran hubungan al-Aqta) Betapapun juga Amr tidak diminta pendapatnya, sebagaiman lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan kebencian dan permusuhan serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan antara Amr dan Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara Amr dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan kezuhudan.
Enam tahun berlalu, dan pada 892M, al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr al-Makki dan mungkin juga Junaid.
Sangat boleh jadi bahwa Amr segera menentang al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid untuk kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus atau tidak harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab, yang membuat al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan nasib Al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi. Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini makin membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang gantungan.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin, bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah aku atas dosa-dosa mereka."
Yang mengherankan, kata-kata ini mengilhami orang-orang untuk menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan kelas penguasa. Orang banyak menuntut agar khalifah menegakkan kewajiban yang diembankan Allah dan Islam atas dirinya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi, yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi atau juru selamat dan, dengan harapan meraih kekuasaan, berusaha memanfaatkan pengaruhnya pada masyarakat untuk menimbulkan gejolak dan keresahan. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial. Di atas segalanya, berbagai gejolak pun muncul dan sudah pasti berakhir secara dramatis.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Sang penasehat khalifah termasuk di antara sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil mencegah upaya untuk membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
Demikian, al-Hallaj dibunuh secara brutal. Akan tetapi ia tetap hidup dalam kalbu orang-orang yang merindukan capaian rohaninya. Dengan caranya sendiri, ia telah menunjukkan pada para pencari kebenaran langkah-langkah yang mesti ditempuh sang pecinta agar sampai pada kekasih

Berbagai legenda dan kisah tentang al-Hallaj

Bagaimana mulanya Husain ibn manshur di sebut al-Hallaj sebuah nama yang berarti penggaru (khususnya kapas)? Menurut Aththar, suatu hari Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas. Ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas itu. Biji-bijinya pun terpisah dari serat kapas. Ia juga dijuluki Hallaj- al-asrar --penggaru segenap Kalbu-- karena ia mampu membaca pikiran orang dan menjawab berbagai pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.
Al-Hallaj terkenal karena berbagai keajaibanya. Salah satu orang muridnya menuturkan kisah berikut ini:
Sewaktu menunaikan ibadah haji kedua kalinya, al-Hallaj pergi ke sebuah gunung untuk mengasingkan diri bersama beberapa orang pengikutnya. Sesudah makan malam, al-Hallaj mengatakan bahwa ia ingin makan manisan.
Murid-muridnya kebingungan lantaran mereka telah memakan habis semua bekal yang mereka bawa. Al-Hallaj tersenyum dan berjalan menembus kegelapan malam. Beberapa menit kemudian, ia kembali sambil membawa makanan berupa kue-kue hangat yang belum pernah mereka ketahui sebelumya. Ia meminta mereka untuk makan bersamanya, seorang muridnya, yang penasaran dan ingin tahu dari mana al-Hallaj memperolehnya, menyembunyikan kue bagiannya, ketika mereka kembali dari mengasingkan diri sang murid ini mencari seseorang yang bisa mengetahui asal kue itu, seseorang dari Zabid, sebuah kota yang jauh dari situ, mengetahui bahwa kue itu berasal dari kotanya, sang murid yang keheranan ini pun sadar bahwa al-Hallaj memperoleh kue itu secara ajaib. "Tak ada seorang pun dan hanya jin saja yang sanggup menempuh jarak sedemikian jauh dalam waktu singkat"! serunya.
Pada kesempatan lain al-Hallaj mengarungi padang pasir bersama sekelompok orang dalam perjalanan menuju Mekah. Di suatu tempat, sahabat-sahabatnya menginginkan buah ara, dia ia pun mengabil senampan penuh buah ara dari udara. Kemudian mereka meminta halwa, ia membawa senampan penuh halwa hangat dan berlapis gula serta memberikannya kepada mereka, usai memakannya mereka mengatakan bahwa kue itu khas berasal dari daerah anu di Bagdad, mereka bertanya ihwal bagaimana ia memperolehnya. Ia hanya menjawab, baginya Baghdad dan padang pasir sama dan tidak ada bedanya, kemudian mereka meminta kurma, ia diam sejenak berdiri dan menyuruh mereka untuk menggerakkan tubuh mereka seperti mereka menggoyang-goyang pohon kurma, mereka melakukannya, dan kurma-kurma segar pun berjatuhan dari lengan baju mereka.
Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada usia lima puluh tahun ia mengatakan bahwa ia memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil dan mengamalkan praktek apa saja yang paling sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Ia tidak pernah meninggalkan shalat wajib, dengan shalat wajib ini ia melakukan wudhu jasmani secara sempurna.
Ketika ia mulai menempuh jalan ini, ia hanya mempunyai sehelai jubah tua dan dan bertambal yang telah dikenakannya selama bertahun-tahun. Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan diketahui bahwa ada banyak kutu dan serangga bersarang didalamnya --yang salah satunya berbobot setengah ons. Pada kesempatan lain, ketika ia memasuki sebuah desa, orang-orang melihat kalajengking besar yang mengikutinya. Mereka ingin membunuh kalajengking itu, ia menghentikan mereka seraya mengatakan bahwa kalajengking itu telah bersahabat dengannya selama dua belas tahun, tampaknya ia sudah sangat lupa pada nyeri dan sakit jasmani.
Kezuhudan al-Hallaj adalah sarana yang ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya ia menjalin hubungan sangat khusus sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Mekah, ia melihat orang-orang bersujud dan berdoa, "Wahai Engkau. Pembimbing mereka yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar."
Kisah penangkapan dan eksekusi atas dirinya sangat menyentuh dan mengharu-biru kalbu. Suatu hari, ia berkata kepada sahabatnya, Syibli, bahwa ia sibuk dengan tugas amat penting yang bakal mengantarkan dirinya pada kematiannya. Sewaktu ia sudah terkenal dan berbagai keajaibannya dibicarakan banyak orang. Ia menarik sejumlah besar pengikut dan juga melahirkan musuh yang sama banyaknya, akhirnya, khalifah sendiri mengetahui bahwa ia mengucapkan kata-kata bid'ah, "Akulah Kebenaran." Musuh al-Hallaj menjebaknya untuk mengucapkan, Dia-lah Kebenaran ia hanya menjawab, "Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian."
Beberapa tahun sebelumnya, ketika al-Hallaj belajar dibawah bimbingan Junaid, ia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Beberapa tahun kemudian, ia datang kembali menemui Junaid dengan sejumlah pertanyaan. Junaid hanya menjawab bahwa tak lama lagi ia bakal melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri, Tampaknya, ramalan ini benar adanya. Junaid ditanya ihwal apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan dengan cara yang bakal bisa menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, "Bunuhlah ia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan." al-Hallaj di jebloskan ke penjara. Pada malam pertama sewaktu ia dipenjara, para sipir penjara mencari-carinya. Mereka heran. Ternyata selnya kosong. Pada malam kedua, bukan hanya al-Hallaj yang hilang, penjara itu sendiri pun hilang!
Pada malam ketiga, segala sesuatunya kembali normal. Para sipir penjara itu bertanya, di mana engkau pada malam pertama? ia menjawab, "pada malam pertama aku ada di hadirat Allah. Karena itu aku tidak ada di sini. Pada malam kedua, Allah ada di sini, karenanya aku dan penjara ini tidak ada. Pada malam ketiga aku di suruh kembali!"
Beberapa hari sebelum dieksekusi, ia berjumpa dengan sekitar tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dan semuanya dibelenggu. ia berkata bahwa ia akan membebaskan mereka semua, mereka heran karena ia berbicara hanya tentang kebebasan mereka dan bukan kebebasannya sendiri ia berkata kepada mereka: "Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini," kemudian ia menunjuk belenggu-belenggu itu dengan jarinya dan semuanya pun terbuka. Para narapidana pun heran bagaimana mereka bisa melarikan diri, karena semua pintu terkunci. Ia menunjukkan jarinya ke tembok, dan terbukalah tembok itu. "Engkau tidak ikut bersama kami?" tanya mereka "Tidak, ada sebuah rahasia yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan!" jawabnya
Esoknya, para sipir penjara bertanya kepadanya tentang yang terjadi pada narapidana lainnya. Ia menjawab bahwa ia telah membebaskan mereka semua.
"Mengapa engkau tidak sekalian pergi?" tanya mereka "Dia mencela dan menyalahkanku. Karenanya aku harus tetap tinggal di sini untuk menerima hukuman," jawabnya
Sang khalifah yang mendengar percakapan ini, berpikir bahwa al-Hallaj bakal menimbulkan kesulitan, karena itu, ia memerintahkan, "Bunuhlah atau cambuklah sampai ia menarik kembali ucapannya!" Al-Hallaj dicambuk tiga ratus kali dengan rotan, setiap kali pukulan mengenai tubuhnya terdengar suara gaib berseru, "Jangan takut, putra Manshur."
Mengenang hari itu, seorang sufi syekh Shaffar, mengatakan aku lebih percaya pada akidah sang algojo ketimbang akidah al-Hallaj. Sang algojo pastilah mempunyai akidah yang kuat dalam menjalankan Hukum Ilahi sebab suara itu bisa didengar demikian jelas, tetapi tangannya tetap mantap.
Al-Hallaj digiring untuk di eksekusi. Ratusan orang berkumpul. Ketika ia melihat kerumunan orang, ia berseru lantang, "Haqq, Haqq, ana al-Haqq --Kebenaran, kebenaran, Akulah kebenaran."
Pada waktu itu, seorang darwis memohon al-Hallaj untuk mengajarinya tentang cinta. Al-Hallaj mengatakan bahwa sang darwis akan melihat dan mengetahui hakikat cinta pada hari itu, hari esok, dan hari sesudahnya.
Al-Hallaj dibunuh pada hari itu. Pada hari kedua tubuhnya dibakar, dan pada hari ketiga abunya ditebarkan dengan angin, Melalui kematiannya, al-Hallaj menunjukkan bahwa cinta berarti menanggung derita dan kesengsaraan demi orang lain.
Ketika menuju ke tempat eksekusi, ia berjalan dengan sedemikian bangga. "Mengapa engkau berjalan sedemikian bangga?" tanya orang-orang. "Aku bangga lantaran aku tengah berjalan menuju ketempat pejagalanku," jawabnya kemudian ia melantunkan syair demikian:
Kekasihku tak bersalah
Diberi aku anggur dan amat memperhatikanku,
laksana tuan rumah
perhatikan sang tamu
Setelah berlalu sekian lama,
dia menghunus pedang dan
menggelar tikar pembantaian
Inilah balasan buat mereka yang minum anggur lama
bersama dengan singa
tua di musim panas.
Ketika dibawa ke tiang gantungan, dengan suka rela ia menaiki tangga sendiri. Seseorang bertanya tentang hal (keadaan spiritual atau emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan spiritual para pahlawan justru dimulai di puncak tiang gantungan, ia berdoa dan berjalan menuju puncak itu.
Sahabatnya, Syibli, hadir di situ dan bertanya, "Apa itu tasawuf?" al-Hallaj menjawab bahwa apa yang disaksikan Syibli saat itu adalah tingkatan tasawuf paling rendah. "Adakah yang lebih tinggi dari ini?" tanya Syibli "Kurasa, engkau tidak akan mengetahuinya!", jawab al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj sudah berada di tiang gantungan, setan datang kepadanya dan bertanya, "Engkau bilang aku dan aku juga bilang aku. Mengapa gerangan engkau menerima rahmat abadi dari Allah dan aku, kutukan abadi?"
Al-Hallaj menjawab, "Engkau bilang aku dan melihat dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diri dari keakuan-ku. Aku beroleh rahmat dan engkau, kutukan. Memikirkan diri sendiri tidaklah benar dan memisahkan diri dari kedirian adalah amalan paling baik."
Kerumunan orang mulai melempari al-Hallaj dengan batu. Namun, ketika Syibli melemparkan bunga kepadanya untuk pertama kalinya, al-Hallaj merasa kesakitan. Seseorang bertanya, "Engkau tidak merasa kesakitan dilempari batu, tapi lembaran sekuntum bunga justru membuatmu kesakitan mengapa?
Al-Hallaj menjawab "Orang-orang yang jahil dan bodoh bisa dimaafkan. Sulit rasanya melihat Syibli melempar lantaran ia tahu bahwa seharusnya ia tidak melakukannya."
Sang algojo pun memotong kedua tangannya. Al-Hallaj tertawa dan berkata, "Memang mudah memotong tangan seorang yang terbelenggu. Akan tetapi, diperlukan seorang pahlawan untuk memotong tangan segenap sifat yang memisahkan seseorang dari Allah." (dengan kata lain, meninggalkan alam kemajemukan dan bersatu dengan Allah membutuhkan usah keras dan luar biasa). Sang Algojo lantas memotong kedua kakinya. Al-Hallaj tersenyum dan berkata, "Aku berjalan di muka bumi dengan dua kaki ini, aku masih punya dua kaki lainnya untuk berjalan di kedua alam. Potonglah kalau kau memang bisa melakukannya!"
Al-Hallaj kemudian mengusapkan kedua lenganya yang buntung kewajahnya sehingga wajah dan lengannya berdarah. "Mengapa engkau mengusap wajahmu dengan darah?" tanya orang-orang. Ia menjawab bahwa karena ia sudah kehilangan darah sedemikian banyak dan wajahnya menjadi pucat maka ia mengusap pipinya dengan darah agar orang jangan menyangka bahwa ia takut mati.
"Mengapa," tanya mereka, "Engkau membasahi lenganmu dengan darah?" Ia menjawab, "Aku sedang berwudu. Sebab, dalam salat cinta. Hanya ada dua rakaat, dan wudhunya dilakukan dengan darah."
Sang algojo kemudian mencungkil mata al-Hallaj. Orang-orang pun ribut dan berteriak. Sebagian menangis dan sebagian lainnya melontarkan sumpah serapah, lalu, telinga dan hidungnya dipotong. Sang algojo hendak memotong lidahnya. Al-Hallaj memohon waktu sebentar untuk mengatakan sesuatu, "Ya Allah, janganlah engkau usir orang-orang ini dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan karena Engkau. Segala puji bagi Allah, mereka memotong tanganku karena Engkau semata. Dan kalau mereka memenggal kepalaku, itu pun mereka melakukan karena keagungan-Mu." Kemudian ia mengutip sebuah ayat Al-Qur'an:
"Orang-orang yang mengingkari Hari kiamat bersegera ingin mengetahuinya, tetapi orang-orang beriman berhati-hati karena mereka tahu bahwa itu adalah benar."
Kata-kata terakhirnya adalah: Bagi mereka yang ada dalam ekstase "Cukuplah sudah satu kekasih."
Tubuhnya yang terpotong, yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, dibiarkan berada di atas tiang gantungan sebagai pelajaran bagi yang lainnya. Esoknya, baru sang algojo memenggal kepalanya. Ketika kepalanya dipenggal al-Hallaj tersenyum dan meninggal dunia. Orang-orang berteriak tapi al-Hallaj menunjukkan betapa berbahagia ia bersama dengan kehendak Allah. Setiap bagian tubuhnya berseru, "Akulah kebenaran", sewaktu meninggal dunia setiap tetesan darahnya yang jatuh ke tanah membentuk nama Allah.
Hari berikutnya mereka yang berkomplot menentangnya, memutuskan bahwa bahkan tubuh al-Hallaj yang sudah terpotong-potong pun masih menimbulkan kesulitan bagi mereka. Karena itu, mereka pun memerintahkan agar tubuhnya di bakar saja. Malahan, abu jenazahnya berseru, "Akulah Kebenaran."
Al-Hallaj telah meramalkan kematiannya sendiri dan memberitahu pembantunya bahwa ketika abu jenazahnya dibuang ke sungai Tigris permukaan sungai akan naik sehingga seluruh Baghdad pun terancam tenggelam. Ia memerintahkan pembantunya menaruh jubahnya ke sungai untuk meredakan ancaman banjir, pada hari ketiga ketika abu jenazahnya diterbangkan oleh angin ke sungai. Permukaan air pun terbakar, air mulai naik, dan sang pembantu melakukan apa yang diperintahkannya, permukaan air pun surut, api padam, dan abu jenazah al-Hallaj pun diam.
Waktu itu, seorang tokoh terkemuka mengatakan bahwa ia melakukan salat sepanjang malam di bawah tiang gantungan sepanjang malam. Ketika fajar menyingsing, terdengarlah suara gaib berseru, "Kami berikan salah satu rahasia kami dan ia tidak menjaganya. Sungguh, inilah hukuman bagi mereka yang mengungkapkan segenap rahasia kami."
Syibli menyebutkan bahwa, suatu malam. Ia mimpi bertemu dengan al-Hallaj dan bertanya, "Bagaimana Allah menghakimi orang-orang ini?" Al-Hallaj menjawab bahwa mereka yang tahu bahwasanya ia benar dan juga mendukungnya berbuat demikian karena Allah semata. Sementara itu, mereka yang ingin melihat dirinya mati tidaklah mengetahui hakikat kebenaran, oleh sebab itu, mereka menginginkan kematiannya, kematiannya karena Allah semata. Allah merahmati kedua kelompok ini. Keduanya beroleh berkah dan rahmat dari Allah.

disadur dari: Negeri Sufi
oleh: Mojdeh Bayat dan Muhammd Ali Jamnia
Cetakan: 2
Penerbit: PT LENTERA BASRITAMA
 

Rabi'ah Al- Adawiyah

Mengenal Allah dengan Mahabbah




Suatu ketika, Rabiah al-Adawiyah makan bersama dengan keluarganya. Sebelum menyantap hidangan makanan yang tersedia, Rabi’ah memandang ayahnya seraya berkata, “Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadi halal. Apalagi karena ayah merasa berkewajiban memberi nafkah kepada kami.” Ayah dan ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi’ah. Makanan yang sudah di mulut akhirnya tak jadi dimakan. Ia pandang Rabi’ah dengan pancaran sinar mata yang lembut, penuh kasih. Sambil tersenyum, si ayah lalu berkata, “Rabi’ah, bagaimana pendapatmu, jika tidak ada lagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang haram?” Rabi’ah menjawab: “Biar saja kita menahan lapar di dunia, ini lebih baik daripada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka.” Ayahnya tentu saja sangat heran mendengar jawaban Rabi’ah, karena jawaban seperti itu hanya didengarnya di majelis-majelis yang dihadiri oleh para sufi atau orang-orang saleh. Tidak terpikir oleh ayahnya, bahwa Rabi’ah yang masih muda itu telah memperlihatkan kematangan pikiran dan memiliki akhlak yang tinggi (Abdul Mu’in Qandil).

Penggalan kisah di atas sebenarnya hanya sebagian saja dari kemuliaan akhlak Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang nama dan ajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi. Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya banyak diungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi. Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.

Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla)”.

Rabi’ah telah mencapai puncak dari maqam itu, yakni Mahabbahtullah. Untuk menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah, tampaknya agak sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan kata lain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik melalui kata-kata maupun simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda pendapat untuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab, pendefinisian Cinta Ilahi lebih didasarkan kepada perbedaan pengalaman spiritual yang dialami oleh para sufi dalam menempuh perjalanan ruhaninya kepada Sang Khalik. Cinta Rabi’ah adalah Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau Cinta yang lain. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian.

Pertama, mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.
Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Keempat, Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.

Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada di jalan Allah.

Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir mengatakan:

Aku cemburu kepada-Nya,
Karena aku Cinta kepada-Nya,
Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,
Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku

Oleh karena itu, setiap Cinta yang bukan karena Allah adalah bathil. Dan setiap amalan yang tidak dimaksudkan karena Allah adalah bathil pula. Maka dunia itu terkutuk dan apa yang ada di dalamnya juga terkutuk, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya

Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.

Sekalipun keluarganya berada dalam kehidupan yang serba kekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya ia jadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi.

Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’I asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).

Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karya Fariduddin Aththar tampaknya dianggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin itu (tapi ada yang menyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah sebenarnya termasuk keturunan bangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smith dalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah disertasi, terbitan Cambridge University Press, London, 1928), antara lain banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya.

Diceritakan, sewaktu bayi Rabi’ah lahir malam hari, di rumahnya sama sekali tidak ada minyak sebagai bahan untuk penerangan, termasuk kain pembungkus untuk bayi Rabi’ah. Karena tak ada alat penerangan, ibunya lalu meminta sang suami, Ismail, untuk mencari minyak di rumah tetangga. Namun, karena suaminya terlanjur berjanji untuk tidak meminta bantuan pada sesama manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail pun terpaksa pulang dengan tangan hampa. Saat Ismail tertidur untuk menunggui putri keempatnya yang baru lahir tersebut, ia kemudian bermimpi didatangi oleh Nabi Muhammad Saw dan bersabda: “Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan dianut oleh 7.000 umatku.” Nabi kemudian bersabda lagi: “Besok kirimkan surat kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah, ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya bershalawat seratus kali untukku dan pada malam Jum’at sebanyak empat ratus kali, tetapi malam Jum’at ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayar denda kepadamu sebanyak empat ratus dinar.”

Ayah Rabi’ah kemudian terbangun dan menangis. Tak lama, ia pun menulis surat dan mengirimkannya kepada Amir kota Basrah itu yang dititipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu. Ketika Amir selesai membaca surat itu, ia pun berkata: “Berikan dua ribu dinar ini kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya dengan janggutku.”

Aththar juga menceritakan mengenai nasib malang yang menimpa keluarga Rabi’ah. Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunya kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu. Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah dilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.

Suatu hari, ketika sedang berejalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak, Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenaga Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. Ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuh terpeleset. Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau Ridla terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.”

Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari. Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya hingga siang hari.

Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”, artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.

Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.

Dalam pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga dengan ditemani seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati di tengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.

Orang-orang itu pun memahami keinginan Rabi’ah, sehingga mereka meneruskan perjalanannya. Rabi’ah terdiam dan kemudian menundukkan kepalanya sambil berdoa, “Ya Allah, apalagi yang akan Engkau lakukan dengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkau-lah yang memanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi di tengah jalan Engkau mengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah padang pasir ini.”

Setelah asyik bermunajat, di depan Rabi’ah tampak keledai yang semula mati itu pun hidup kembali. Rabi’ah tentu saja gembira karena bisa meneruskan perjalannya ke Mekkah.

Dalam cerita yang berbeda disebutkan, saat Rabi’ah berada di tengah padang pasir, ia berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku. Hatiku ini merasa bingung sekali, ke mana aku harus pergi? Aku hanyalah debu di atas bumi ini dan rumah itu (Ka’bah) hanyalah sebuah batu bagiku. Tampakkanlah wajah-Mu di tempat yang mulia ini.” Bgeitu ia berdoa sehingga muncul suara Allah dan langsung masuk ke dalam hatinya tanpa ada jarak, “Wahai Rabi’ah, ketika Musa ingin sekali melihat wajah-Ku, Aku hancurkan Gunung Sinai dan terpecah menjadi empat puluh potong. Tetaplah berada di situ dengan Nama-Ku.”

Diceritakan pula, saat Rabi’ah dalam perjalanannya ke Mekkah, tiba-tiba di tengah ia melihat Ka’bah datang menghampiri dirinya. Rabi’ah lalu berkata, “Tuhanlah yang aku rindukan, apakah artinya rumah ini bagiku? Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang mendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akan berada sedekat urat nadinya.’ Ka’bah yang aku lihat ini tidak memiliki kekuatan apa pun terhadap diriku, kegembiraan apa yang aku dapatkan apabila Ka’bah yang indah ini dihadapkan pada diriku?” Singkat cerita, sekembalinya Rabi’ah dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudian menetap di Basrah dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah seraya melakukan perbuatan-perbuatan mulia.

Sebagaimana yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ah al-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah.

Suatu ketika, Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah. Tapi lamaran itu ditolaknya dengan mengatakan, “Wahai laki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan mereka. Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”

Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan juga memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki pendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab oleh Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.”

Dalam kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikah dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan, “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.” Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”

“Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”

“Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”

“Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu.”

“Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu.

Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.

Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.

Begitulah, meskipun sebagai manusia, Rabi’ah tak pernah tergoda sedikit pun oleh berbagai keindahan dunia fana. Sampai wafatnya, ia hanya lebih memilih Allah sebagai Kekasih sejatinya semata ketimbang harus bercinta dengan sesama manusia. Meskipun demikian, disebutkan bahwa Rabi’ah memiliki sejumlah sahabat pria, dan sangat sedikit sekali ia bersahabat dengan kaum perempuan. Di antara sahabat-sahabat Rabi’ah yang cukup dekat misalnya Dzun Nun al-Mishri, seorang sufi Mesir yang memperkenalkan ajaran doktrin ma’rifat. Sufi ini meninggal pada tahun 856 M dan sempat bersahabat dengan Rabi’ah selama kurang lebih setengah abad. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pertemuan antara Dzun Nun al-Mishri dengan Rabi’ah ini terjadi sejak awal-awal usianya.

Di kalangan para sahabat sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekali berdiskusi dan berbincang tentang Kebenaran, baik siang maupun malam. Salah seorang sahabat Rabi’ah, Hasan al-Bashri, misalnya menceritakan: “Aku lewati malam dan siang hari bersama-sama dengan Rabi’ah, berdiskusi tentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah terlintas dalam benakku bahwa aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga Rabi’ah, tak pernah ada dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan akhirnya aku menengok dalam diriku sendiri, baru kusadari bahwa diriku tak memiliki apa-apa, yaitu secara spiritual aku tidak berharga, Rabi’ah-lah yang sesungguhnya sejati.

Dalam kisah lain, diceritakan bahwa pada suatu hari Rabi’ah melewati lorong rumah Hasan al-Bashri. Hasan melihatnya melalui jendela dan menangis, hingga air matanya jatuh menetes mengenai jubah Rabi’ah. Ia menengadah ke atas, dan berpikir bahwa hari tidaklah hujan, dan ketika ia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu dihampirinya sahabat yang sedang menangis tersebut seraya berkata, “Wahai guruku, air itu hanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat dari melihat ke dalam hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuk sungai yang di dalamnya tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecuali ia telah bersama dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.” Setelah mendengar kata-kata Rabi’ah itu, Hasan tampak hanya bisa berdiam diri.

Di kalangan para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah dirasakan banyak memberi manfaat. Hal ini dikarenakan Rabi’ah banyak sekali memperhatikan kehidupan mereka. Perhatian Rabi’ah yang cukup besar kepada para sahabatnya itu, misalnya saja dibuktikan dengan kisah sebagai berikut: Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang meminta agar Rabi’ah mendoakan untuk dirinya. Tapi permohonan itu dibalas oleh Rabi’ah dengan rasa rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turutlah perintah Allah dan berdoalah kepada-Nya, sebab Dia akan menjawab semua doa bila engkau memohonnya.”


Ke-zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah

Sebagaimana diungkapkan terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudah memiliki karakter yang tidak begitu banyak memperhatikan kehidupan duniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar hati-hatinya terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan saking zuhudnya, Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya, tetapi sebaliknya Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani Tuhannya. Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri di sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya. Ia meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah.

Tampaknya, keinginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawi ini benar-benar ia jalankan secara konsisten. Pernah misalnya Al-Jahiz, seorang sufi generasi tua, menceritakan bahwa beberapa dari sahabatnya mengatakan kepada Rabi’ah, “Andaikan kita mengatakan kepada salah seorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak, yang akan melayani kebutuhanmu di rumah ini.” Tetapi ia menjawab, “Sungguh, aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini, bagaimana aku harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?” Tiba-tiba terdengar suara mengatakan:

“Jika engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua dan Aku berkahi, tetapi Aku akan menyingkir dari dalam kalbumu, sebab Aku tak mungkin berada di dalam kalbu yang memiliki dunia ini. Wahai Rabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu. Aku tidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.”

Rabi’ah kemudian mengatakan, “Ketika mendengar peringatan itu, kutanggalkan hati ini dari dunia dan kuputuskan harapan duniawiku selama tiga puluh tahun. Aku salat seakan-akan ini terkahir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka akau katakana, “Ya Tuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan Engkau biarkan mereka menarikku dari-Mu.”

Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allah agar dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Namun, perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu saja dilalui. Di depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia hadapi. Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia, tak mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipun demikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang datang selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqr), namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayang Allah kepada Rabi’ah.

Dalam satu kisah misalnya disebutkan, sahabatnya Malik bin Dinar pada suatu waktu mendapati Rabi’ah sedang terbaring sakit di atas tikar tua dan lusuh, serta batu bata sebagai bantal di kepalanya. Melihat pemandangan seperti itu, Malik lalu berkata pada Rabi’ah, “Aku memiliki teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan bantuan aku akan meminta kepada mereka.” Rabi’ah mengatakan, “Wahai Malik, engkau salah besar. Bukankah Yang memberi mereka dan aku makan sama?” Malik menjawab, “Ya, memang sama.” Rabi’ah mengatakan, “Apakah Allah akan lupa kepada hamba-Nya yang miskin dikarenakan kemiskinannya dan akankah Dia ingat kepada hamba-Nya yang kaya dikarenakan kekayaannya?” Malik menyahut, “Tidak.” Rabi’ah lalu kembali mengatakan, “Karena Dia mengetahui keadaanku, mengapa aku harus mengingatkan-Nya? Apa yang diinginkan-Nya, kita harus menerimanya.”

Sikap zuhud yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tiada lain agar ia hanya lebih mencintai Allah ketimbang makhluk-makhluknya. Karena itu, hidup dalam kefakiran baginya bukanlah halangan untuk beribadah dan lebih dekat dengan Tuhannya. Dan, toh, Rabi’ah menganggap bahwa kefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia harus terima dengan penuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, demikian menurut Rabi’ah, adalah datang dari Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknya itu, Rabi’ah sendiri telah melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlah engkau pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu.”

Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.

Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut:

Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.

Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.”
Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”

Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:

Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.

Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. 5: 59).

Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:

Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.

Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan:

Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.

Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya.

Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, 1928).

Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya

Dikisahkan, Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 90 tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.

Berbagai kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, di antaranya pada masa menjelang kematian Rabi’ah, banyak sekali orang alim duduk mengelilinginya. Rabi’ah lalu meminta kepada mereka: ‘Bangkit dan keluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh Allah Yang Maha Agung!’ Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saat mereka menutup pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkan kalimat syahadat, setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Maka masuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. 89: 27-30).

Setelah itu tidak terdengar lagi suara apa pun. Pada saat mereka kembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itu telah meninggalkan alam fana. Para dokter yang berdiri di hadapannya lalu menyuruh agar jasad Rabi’ah segera dimandikan, dikafani, disalatkan, dan kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.

Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia. Setiap orang sudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpa dengan Tuhannya.

Karenanya, setelah kematian Rabi’ah, seseorang lalu pernah memimpikanya. Dia mengatakan kepada Rabi’ah, “Ceritakanlah bagaimana keadaanmu di sana dan bagaimana engkau dapat lolos dari Munkar dan Nakir?” Rabi’ah menjawab, “Mereka datang menghampiriku dan bertanya, “Siapakah Tuhanmu?’ Aku katakana, “Kembalilah dan katakan kepada Tuhanmu, ribuan dan ribuan sudah ciptaan-Mu, Engkau tentunya tidak akan lupa pada perempuan tua lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak pernah melupakan-Mu. Sekarang, mengapa Engkau harus bertanya, ‘Siapa Tuhanmu?’”

Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.

---(ooo)---

Dra. Siti Tati Alawiyah

Directions:
http://www.sufinews.com
Diposkan oleh Haris di 20:14 0 komentar
Label: Tasawuf
Kamis, 2009 Juli 23
K I S A H - K I S A H S U F I



K I S A H - K I S A H S U F I
Kumpulan kisah nasehat para guru sufi
selama seribu tahun yang lampau
oleh Idries Shah (terjemahan: Sapardi Djoko Damono)
Penerbit: Pustaka Firdaus, 1984

KETIKA AIR BERUBAH

Pada zaman dahulu, Kidir, Guru Musa, memberi peringatan
kepada manusia. Pada hari tertentu, katanya, semua air
didunia yang tidak disimpan secara khusus akan lenyap.
Sebagai gantinya akan ada air baru, yang mengubah manusia
menjadi gila.

Hanya seorang yang menangkap makna peringatan itu. Ia
mengumpulkan air dan menyimpannya di tempat yang aman.
Ditunggunya saat yang di sebut-sebut itu.

Pada hari yang dipastikan itu, sungai-sungai berhenti
mengalir, sumur-sumur mengering. Melihat kejadian itu, orang
yang menangkap makna peringatan itupun pergi ketempat
penyimpanan dan meminum airnya.

Ketika dari tempat persembunyiannya itu ia menyaksikan air
terjun kembali memuntahkan air, orang itu pun menggabungkan
dirinya kembali dengan orang-orang lain. Ternyata mereka itu
kini berpikir dan berbicara dengan cara sama sekali lain
dari sebelumnya; mereka tidak ingat lagi apa yang pernah
terjadi, juga tidak ingat sama sekali bahwa pernah mendapat
peringatan. Ketika orang itu mencoba berbicara dengan
mereka, ia menyadari bahwa ternyata mereka telah
menganggapnya gila. Terhadapnya, mereka menunjukkan rasa
benci atau kasihan, bukan pengertian.

Mula-mula orang itu tidak mau minum air yang baru; setiap
hari ia pergi ke tempat persembunyiannya, minum air
simpanannya. Tetapi, akhirnya ia memutuskan untuk meminum
saja air baru itu; ia tidak tahan lagi menderita kesunyian
hidup; tindakan dan pikirannya sama sekali berbeda dengan
orang-orang lain. Ia meminum air baru itu, dan menjadi
seperti yang lain-lain. Ia pun sama sekali melupakan air
simpanannya, dan rekan rekannya mulai menganggapnya sebagai
orang yang baru saja waras dari sakit gila.

Ya Ilahi,
Hamba ini hambaMU yang hina.
Penuh dengan dosa dan noda yang menggunung..
Malu benar rasanya hamba padaMU..
Walau seringkali hamba menderhakaiMU..
Walau seringkali hamba lupa padaMU.
Namun ENGKAU tetap hadir dalam hatiku..
ENGKAU lah Yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih..
Namun semakin hamba cuba mendekatiMU Rabbi..
Semakin getir ujian yang hadir..
Dunia memanggil-manggil..
Hati kelamku merintih..
Semakin lemah tiada daya..
Mengharap secebis ketabahan..
buat jiwa yang kelemahan..
Dengan rahmatMU Rabbi..
hamba datang pdMU..
Terimalah taubat hamba ..
Berilah ampunan dan rahmatMU yang luas..
Wahai Yang Maha Penerima Taubat..
Berilah walau secebis perasaan cinta padaku..
Agar bertambah-tambah kecintaan hamba padaMU Rabbi..
Sesungguhnya terlalu Agung cintaMU..
pada hamba-hambaMu yang Dikau ciptakan..
Bagaimana tidak hamba pula yang mencintaiMu..


“Wahai tuhanku

Jika hamba menyembah Mu kerana takut akan nerakaMu
Maka bakarlah hamba dengannya
Jika hamba menyembahMu kerana mengharapkan SyurgaMu,
Haramkanlah hamba memasukinya
Tapi Jika hamba menyembah Mu semata-mata kerana cinta kepadaMu
Maka jangan kecewakan aku dan janganlah tutupi diri Mu
Dari pandanganku.."

-Doa Munajat Rabia'tul Adawiyah-


Catatan

Orang yang dianggap menciptakan kisah ini, Dhun-Nun, seorang
Mesir (meninggal tahun 860), selalu dihubung-hubungkan
dengan suatu bentuk Perserikatan Rahasia. Ia adalah tokoh
paling awal dalam sejarah Kaum Darwis Malamati, yang oleh
para ahli Barat sering dianggap memiliki persamaan yang erat
dengan keahlian anggota Persekutuan Rahasia. Konon, Dhun-Nun
berhasil menemukan arti hieroglip Firaun.

Versi ini dikisahkan oleh Sayid Sabir Ali-Syah, seorang
ulama Kaum Chishti, yang meninggal tahun 1818.

Kidung Rumeksa Ing Wengi

Kidung Rumeksa Ing Wengi


 ----------------------------
Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno

Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak

Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma
Ati Adam utekku baginda Esis
Pangucapku ya Musa

Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman

Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhamad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal

By : Sunan Kalijaga

Terjemahan dalam bahasa indonesia:

Ada kidung rumekso ing wengi. Yang menjadikan kuat selamat terbebas
dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setanpun
tidak mau. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat.
guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku.
Segala bahaya akan lenyap.

Semua penyakit pulang ketempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh dibesi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak.

Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mengering. Pada akhirnya semua slamat. Sebab badannya selamat dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat, dan semua rasul dalam lindungan Tuhan. Hatiku Adam dan otakku nabi Sis. Ucapanku adalah nabi Musa.

Nafasku nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakup pendenganranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi sulaiman
menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi
rupaku. Ali sebagai kulitku. Abubakar darahku dan Umar dagingku.
Sedangkan Usman sebagai tulangku.

Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti fatimah sebagai
kekuatan badanku. Nanti nabi Ayub ada didalam ususku. Nabi Nuh
didalam jantungku. Nabi Yunus didalam otakku. Mataku ialah Nabi
Muhamad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka
lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.

 By : Kanjeng Sunan kalijaga

Menatap zaman edan yang begitu menyengsarakan sendi-sendi kehidupan rakyat, hidup serba tidak menentu, semuanya serba sulit menentukan sikap, serta tidak ada fundamen keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang benar dan kokoh, sebenarnya sudah diantisipasi nenek moyang kita jauh hari sebelum hal itu terjadi. Orang-orang yang Waskita ”wong kang limpad ing budi” (orang-orang yang mampu membaca tanda jaman).

Salah satu alternatif dari sumbangan orang Jawa menghadapi jaman edan ialah membaca ”Kidung Rumekso Ing Wengi”(KRIW), yang merupakan karya Sunan Kalijaga sehabis sembahyang malam, kidung ini sudah terkenal di wilayah Nusantara dan sering dilantunkan di pedesaan pada pertunjukkan ketoprak, wayang kulit dll atau peronda di malam hari yang sunyi.

Bait yang utama dari KRIW itu sangat dikenal karena berisi mantra tolak balak, sedangkan bait selanjutnya yang berjumlah delapan jarang dinyanyikan karena dianggap terlalu panjang.
Laku kidung ini mengingatkan manusia agar mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat. Dengan demikian kita dituntut untuk senantiasa berbakti, beriman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sedangkan fungsi kidung secara eksplisit tersurat dalam kalimat kidung itu, yang antara lain; Penolak balak di malam hari, seperti teluh, santet, duduk, ngama, maling, penggawe ala dan semua malapetaka. Pembebas semua benda . Pemyembuh penyakit, termasuk gila. Pembebas pageblug. Pemercepat jodoh bagi perawan tua. Menang dalam perang . Memperlancar cita-cita luhur dan mulia.

Ajaran Sunan Derajat

Ajaran Sunan Derajat



-wenehono teken marang wong kang wuto
-wenehono mangan marang wong kang luwe
-wenehono busono marang wong kang mudo
-wenehono ngiyup marang wong kang kodanan

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut :

-berikanlah tongkat kepada orang yang buta
-berikanlah makan kepada orang yang lapar
-berikanlah pakaian kepada orang yang telanjang
-berikanlah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan

Sebagai manusia haruslah kita saling membantu siapa saja makhluk Allah Swt di di bumi-NYA ini.
Allah akan membantu kesulitan hambah-Nya yang saling mengasihi dan membantu dalam kebaikan,serta berusaha memperindah alam ciptaan-Nya.
sebaik-baik manusia adalah yang dapat memberi manfaat kepada sesamanya.