Sedulur Papat Lima Pancer


 Sedulur Papat Lima Pancer

Mengambil dari Kitab Kidungan Purwajati tulisannya dimulai dari lagu Dhandanggula yang bunyinya sebagai berikut:

Ana kidung ing kadang Marmati Amung tuwuh ing kuwasanira Nganakaken saciptane Kakang Kawah puniku Kang rumeksa ing awak mami Anekakake sedya Ing kuwasanipun Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi laku kuwasanireki Angenakken pangarah Ponang Getih ing rahina wengi Ngrerewangi ulah kang kuwasa Andadekaken karsane Puser kuwasanipun Nguyu-uyu sabawa mami Nuruti ing panedha Kuwasanireku Jangkep kadang ingsun papat Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud ingwang.
Pada lagu diatas, disebutkan bahwa “Saudara Empat” itu adalah Marmati, Kawah, Ari – ari (plasenta/ tembuni) dan Darah yang umumnya disebut Rahsa. Semua itu berpusat di Pusar yaitu berpusat di Bayi.
Jelasnya mereka berpusat di setiap manusia. Mengapa disebut Marmati, kakang Kawah, Adhi Ari – Ari, dan Rahsa? Marmati itu artinya Samar Mati (Takut Mati)! Umumnya bila seorang ibu mengandung sehari - hari pikirannya khawatir karena Samar Mati. Rasa khawatir tersebut hadir terlebih dahulu sebelum keluarnya Kawah (air ketuban), Ari – ari, dan Rahsa. Oleh karena itu Rasa Samar Mati itu lalu dianggap Sadulur Tuwa (Saudara Tua). Perempuan yang hamil saat melahirkan, yang keluar terlebih dahulu adalah Air Kawah (Air Ketuban) sebelum lahir bayinya, dengan demikian Kawah lantas dianggap Sadulur Tuwa yang biasa disebut Kakang (kakak) Kawah. Bila kawah sudah lancar keluar, kemudian disusul dengan ahirnya si bayi, setelah itu barulah keluar Ari – ari (placenta/ tembuni).

ATTAR (Faridu'd-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim)

ATTAR



Faridu'd-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim lebih dikenal dengan nama Attar, si penyebar wangi. Meskipun sedikit yang diketahui dengan pasti tentang hidupnya, namun agaknya dapat dikatakan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1120 Masehi dekat Nisyapur di Persia Barat-Laut (tempat kelahiran Omar Khayyam). Tarikh wafatnya tak diketahui dengan pasti, tetapi dapat diperkirakan sekitar tahun 1230, sehingga ia hidup sampai usia seratus sepuluh tahun. Sebagian besar dari apa yang diketahui tentang dirinya bersifat legendaris, juga kematiannya di tangan seorang perajurit Jenghis Khan. Dari catatan kenang-kenangan pribadinya yang tersebar di antara tulisan-tulisannya agaknya dapat disebutkan bahwa ia melewatkan tiga belas tahun dari masa mudanya di Meshed. Menurut Dawlatshah, suatu hari Attar sedang duduk dengan seorang kawannya di muka pintu kedainya, ketika seorang darwis datang mendekat, singgah sebentar, mencium bau wangi, kemudian menarik nafas panjang dan menangis. Attar mengira darwis itu berusaha hendak membangkitkan
belas kasihan mereka, lalu menyuruh darwis itu pergi.

Darwis itu berkata, "Baik, tak ada satu pun yang menghalangi aku meninggalkan pintumu dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini. Apa yang kupunyai hanyalah khirka yang lusuh ini. Tetapi aku sedih memikirkanmu, Attar. Mana mungkin kau pernah memikirkan maut dan meninggalkan segala harta duniawi ini?" Attar menjawab bahwa ia berharap akan mengakhiri hidupnya dalam kemiskinan dan kepuasan sebagai seorang darwis. "Kita tunggu saja," kata darwis itu, dan segera sesudah itu ia pun merebahkan diri dan mati.
Peristiwa ini menimbulkan kesan yang amat dalam di hati Attar sehingga ia meninggalkan kedai ayahnya, menjadi murid Syaikh Bukn-ud-din yang terkenal, dan mulai mempelajari sistem pemikiran Sufi, dalam teori dan praktek. Selama tiga puluh sembilan tahun ia mengembara ke berbagai negeri, belajar di permukiman-permukiman para syaikh dan mengumpulkan tulisan-tulisan para Sufi yang saleh, sekalian dengan legenda-legenda dan cerita-cerita. Kemudian ia pun kembali ke Nisyapur di mana ia melewatkan sisa hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam pikiran Sufi dibandingkan dengan siapa pun di zamannya. Ia mengarang sekitar dua ratus ribu sajak dan banyak karya prosa. Ia hidup sebelum Jalal-uddin Rumi. Ditanya siapa yang lebih pandai di antara keduanya itu, seorang Sufi mengatakan, "Rumi membubung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata; Attar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti semut. Rumi mengatakan, "Attar ialah jiwa itu sendiri."

Attar --yang berarti si penyebar wangi-- adalah nama julukan penyair besar Sufi Faridu'd-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim. Dia lahir di Nisyapur, Persia Barat Laut (tempat kelahiran Umar Khayyam) pada tahun 1120, dan meninggal pada tahun 1230 setelah mencapai usia 110 tahun. Ia gugur ketika pasukan Mongol menyerbu daerahnya.

Semasa hidupnya selain menulis Musyawarah Burung sebagai buah tangannya yang paling mashur, ia juga menulis prosa yang tak kurang tenarnya: Kenang-kenangan Para Sufi dan Buku Bijak Bestari.
Musyawarah Burung (1184-1187) yang tertulis dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum Sufi.

Garcin de Tassy menuturkan bahwa dalam tahun 1862 Nicholas Khanikoff menemukan sebuah batu nisan di luar Nisyapur, yang didirikan antara tahun 1469 dan 1506 (sekitar dua ratus lima puluh tahun sepeninggal Attar). Di situ terukir inskripsi dalam bahasa Parsi. Terjemahan Tassy atas inskripsi itu ke dalam bahasa Perancis dapat diterjemahkan pula sebagai berikut:



Allah Kekal
Dengan nama Allah
Yang Pengasih Yang Pengampun
Di sini di taman Adn bawah, Attar menebarkan wangi pada jiwa orang-orang yang paling sederhana. Inilah makam seorang yang begitu mulia sehingga debu yang terusik kakinya akan merupakan kollirium di mata langit; makam syaikh Attar Farid yang terkenal, yang menjadi ikutan orang-orang suci; makam penebar wangi yang utama dengan nafasnya yang mengharumi dunia dari Kaf ke Kaf. Di kedainya, sarang para malaikat, langit bagai botol obat semerbak dengan wangi sitrun. Bumi Nisyapur akan terkenal hingga hari kiamat karena orang yang termasyhur ini. Tambang emasnya terdapat di Nisyapur sebab ia dilahirkan di Zarwand di wilayah Gurgan. Ia tinggal di Nisyapur selama delapan puluh dua tabun, dan tiga puluh dua tahun dari waktu itu dilewatkannya dalam ketenangan. Dalam usia yang sudah amat lanjut ia dikejar-kejar pedang pasukan tentara yang menelan segalanya. Farid tewas di zaman Hulaku Khan, terbunuh sebagai syahid dalam pembantaian besar-besaran yang terjadi ketika itu ... Semoga Tuhan Yang Maha Tinggi mempersegar jiwanya! Tingkatkanlah, o Rabbi, kebajikannya.
Makam orang yang mulia ini terletak di sini dalam wilayah pemerintahan Syah Alam, Seri Baginda Sultan Abu Igazi Hussein ...

Selebihnya, inskripsi itu menyatakan pujian terhadap Sultan. Agaknya tak ada catatan tertulis dewasa ini tentang bagaimana, bila, dan di mana dia meninggal dan dikuburkan.

Dzunnun Al-Misry

Imam Dzunnun Al-Misry



Sang wali yang haus hikmah
Sufi agung yang memberikan kontribusi besar terhadap dunia pemahaman dan pengamalan hidup dan kehidupan secara mendalam antara makhluk dengan sang pencipta, makhluk dan sesama ini mempunyai nama lengkap al-Imam al-A'rif al-Sufy al-Wasil Abu al-Faidl Tsauban bin Ibrahim, dan terkenal dengan Dzunnun al-Misry. Kendati demikian besar nama yang disandangnya namun tidak ada catatan sejarah tentang kapan kelahirannya.
  

Perjalanan menuju Mesir
Waliyullah yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu menjelajah bumi mensyiarkan agama Allah mencari jati diri, menggapai cinta dan ma'rifatulah yang hakiki.

Suatu ketika dalam perjalanan yang dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak diiringi nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang terjadi ia bertanya pada orang di sampingnya : "ada apa ini?". Orang tersebut menjawab : Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik ". Tidak jauh dari situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang dirundung duka. "Fenomena apa lagi ini ?" begitu pikir sang wali. Iapun bertanya pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab : "Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu anggota keluarganya meningal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga ". Di sana ada suka yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu : "Ya Allah aku tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi cobaan tapi tidak bersabar ". Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).

Perjalanan ke dunia tasawuf

Banyak cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasihnya. Kadang berliku penuh onak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzunnun al-Misri. Bukan wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya.
 
Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan bertanya "Wahai Abu al-Faidl !" begitu ia memanggil demi menghormatinya "Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT ? ". "Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu". Begitu jawab al-Misri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran "Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku" lalu Dzunnun berkata : "Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkum berisi biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad : "Cukup… aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah SWT. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku".
 
Perjalanan ruhaniah
Ketika si kaya tak juga kenyang dengan bertumpuknya harta. Ketika politisi tak jua puas dengan indahnya kursi. Maka kaum sufipun selalu haus dengan kedekatan lebih dekat dengan Sang Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan yang tak sama.

Maka demikianlah, Dzunnun al-Misri tidak puas dengan hikmah yang ia dapatkan dari burung kecil tak berdaya itu. Baginya semuanya adalah media hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para wali, hardikan pendosa, jeritan kemiskinan, rintihan orang hina semua adalah hikmah.

Suatu malam, tatkala Dzunnun bersiap-siap menuju tempat untuk ber-munajat ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang nampaknya baru saja mengarungi samudera kegundahan menuju ke tepi pantai kesesatan. Dalam senyap laki-laki itu berdoa "Ya Allah Engkau mengetahui bahwa aku tahu ber-istighfar dari dosa tapi tetap melakukannya adalah dicerca. Sungguh aku telah meninggalkan istighfar, sementara aku tahu kelapangan rahmatmu. Tuhanku… Engkaulah yang memberi keistimewaan pada hamba-hamba pilihan-Mu dengan kesucian ikhlas. Engkaulah Zat yang menjaga dan menyelamatkan hati para auliya' dari datangnya kebimbangan. Engkaulah yang menentramkan para wali, Engkau berikan kepada mereka kecukupan dengan adanya seseorang yang bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam pembaringan mereka, Engkau mengetahui rahasia hati mereka. Rahasiaku telah terkuak di hadapan-Mu. Aku di hadapan-Mu adalah orang lara tiada asa ". Dengan khusyu' Dzunnun menyimak kata demi kata rintihan orang tersebut. Ketika dia kembali memasang telinga untuk mengambil hikmah di balik ratapan lelaki itu, suara itu perlahan menghilang sampai akhirnya hilang sama sekali di telan gulitanya sang malam namun menyisakan goresan yang mendalam di hati sang wali ini.

Di saat yang lain ia bercerita pernah mendengar seorang ahli hikmah di lereng gunung Muqottom. " Aku harus menemuinya " begitu ia bertekad kemudian. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan iapun bisa menemukan kediaman lelaki misterius. Selama 40 hari mereka bersama, merenungi hidup dan kehidupan, memaknai ibadah yang berkualitas dan saling tukar pengetahuan. Suatu ketika Dzunnun bertanya : "Apakah keselamatan itu?". Orang tersebut menjawab "Keselamatan ada dalam ketakwaan dan al-Muroqobah (mengevaluasi diri)". "Selain itu ?". pinta Dzunnun seperti kurang puas. "Menyingkirlah dari makhluk dan jangan merasa tentram bersama mereka!". "Selain itu ?" pinta Dzunnun lagi. "Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintai-Nya. Maka Allah memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka itu adalah orang-orang yang merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar ketika sedang haus". Lalu orang tersebut meninggalkan Dzunnun al-Misri dalam kedahagaan yang selalu mencari kesegaran cinta Ilahi.

Kealiman Dzunnun al-Misri
Betapa indahnya ketika ilmu berhiaskan tasawuf. Betapa mahalnya ketika tasawuf berlandaskan ilmu. Dan betapa agungnya Dzunnun al-Misri yang dalam dirinya tertata apik kedalaman ilmu dan keindahan tasawuf. Nalar siapa yang mampu membanyah hujjahnya. Hati mana yang mampu berpaling dari untaian mutiara hikmahnya. Dialah orang Mesir pertama yang berbicara tentang urutan-urutan al-Ahwal dan al-Maqomaat para wali Allah.

Maslamah bin Qasim mengatakan "Dzunnun adalah seorang yang alim, zuhud wara', mampu memberikan fatwa dalam berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk perawi Hadits ". Hal senada diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu'aim dalam Hilyah-nya dan al-Dzahabi dalam Tarikh-nya bahwasannya Dzunnun telah meriwayatkan hadits dari Imam Malik, Imam Laits, Ibn Luha'iah, Fudail ibn Iyadl, Ibn Uyainah, Muslim al-Khowwas dan lain-lain. Adapun orang yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah al-Hasan bin Mus'ab al-Nakha'i, Ahmad bin Sobah al-Fayyumy, al-Tho'i dan lain-lain. Imam Abu Abdurrahman al-Sulamy menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzunnun telah meriwayatkan hadis Nabi dari Ibn Umar yang berbunyi " Dunia adalah penjara orang mu'min dan surga bagi orang kafir".

Di samping lihai dalam ilmu-ilmu Syara', sufi Mesir ini terkenal dengan ilmu lain yang tidak digoreskan dalam lembaran kertas, dan datangnya tanpa sebab. Ilmu itu adalah ilmu Ladunni yang oleh Allah hanya khusus diberikan pada kekasih-kekasih-Nya saja.

Karena demikian tinggi dan luasnya ilmu sang wali ini, suatu ketika ia memaparkan suatu masalah pada orang di sekitarnya dengan bahasa Isyarat dan Ahwal yang menawan. Seketika itu para ahli ilmu fiqih dan ilmu 'dhahir' timbul rasa iri dan dan tidak senang karena Dzunnun telah berani masuk dalam wilayah (ilmu fiqih) mereka. Lebih-lebih ternyata Dzunnun mempunyai kelebihan ilmu Robbany yang tidak mereka punyai. Tanpa pikir panjang mereka mengadukannya pada Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad dengan tuduhan sebagai orang Zindiq yang memporak-porandakan syari'at. Dengan tangan dirantai sufi besar ini dipanggil oleh Khalifah bersama murid-muridnya. "Benarkah engkau ini zahidnya negeri Mesir?". Tanya khalifah kemudian. "Begitulah mereka mengatakan". Salah satu pegawai raja menyela : " Amir al-Mu'minin senang mendengarkan perkataan orang yang zuhud, kalau engkau memang zuhud ayo bicaralah".

Dzunnun menundukkan muka sebentar lalu berkata "Wahai amiirul mukminin…. Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembahnya dengan cara yang rahasia, tulus hanya karena-Nya. Kemudian Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus pula. Mereka adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong tanpa diisi oleh malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah SWT, Allah akan mengisinya dengan rahasia yang diberikan langsung pada mereka. Badan mereka adalah duniawi, tapi hati adalah samawi…….".

Dzunnun meneruskan mauidzoh-nya sementara air mata Khalifah terus mengalir. Setelah selesai berceramah, hati Khalifah telah terpenuhi oleh rasa hormat yang mendalam terhadap Dzunnun. Dengan wibawa khalifah berkata pada orang-orang datang menghadiri mahkamah ini : "Kalau mereka ini orang-orang Zindiq maka tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini". Sejak saat itu Khalifah al-Mutawaakil ketika disebutkan padanya orang yang Wara' maka dia akan menangis dan berkata "Ketika disebut orang yang Wara' maka marilah kita menyebut Dzunnun".

Pujian para ulama' terhadap Dzunnun
Tidak ada maksud paparan berikut ini supaya Dzunnun al-Misri menjadi lebih terpuji. Sebab apa yang dia harapkan dari pujian makhluk sendiri ketika Yang Maha Sempurna sudah memujinya. Apa artinya sanjungan berjuta manusia dibanding belaian kasih Yang Maha Penyayang ?. Dan hanya dengan harapan semoga semua menjadi hikmah dan manfaat bagi semua paparan berikut ini hadir.

Imam Qusyairy dalam kitab Risalah-nya mengatakan "Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (Tasawwuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara', Haal, dan adab". Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan "Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan seperti keempat orang ini : Dzunnun al-Misry, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid al-Basry". Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama Syaikh Muhiddin ibn Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan "Dzunnun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita".

Pujian dan penghormatan pada Dzunnun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita : “Sahl al-Tustari (salah satu Imam tasawwuf yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang tinggi dan Isyaraat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab "Dulu waktu Dzunnun al-Misri masih hidup, aku tidak berani berbicara tidak berani bersandar pada mihrab karena menghormati beliau. Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku padaku : berbicaralah!! Engkau telah diberi izin".

Cinta dan ma'rifat
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang : "Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?". "Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku ",jawab Dzunnun. "kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku". Lebih jauh tentang ma'rifat ia memaparkan : "Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya". "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya".

Tentang cinta ia berkata : "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah". "Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya". "Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: “cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)".

Karomah Dzunnun al-Misri
Imam al-Nabhani dalam kitabnya “Jami' al-karamaat “ mengatakan: “Diceritakan dari Ahmad bin Muhammad al-Sulami: “Suatu ketika aku menghadap pada Dzunnun, lalu aku melihat di depan beliau ada mangkuk dari emas dan di sekitarnya ada kayu menyan dan minyak Ambar. Lalu beliau berkata padaku "engkau adalah orang yang biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam keadaan bergembira". Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham. Dengan izin Allah uang yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal sampai kota Balkh (kota di Iran).

Suatu hari Abu Ja'far ada di samping Dzunnun. Lalu mereka berbicara tentang ketundukan benda-benda pada wali-wali Allah. Dzunnun mengatakan "Termasuk ketundukan adalah ketika aku mengatakan pada ranjang tidur ini supaya berjalan di penjuru empat rumah lalu kembali pada tempat asalnya". Maka ranjang itu berputar pada penjuru rumah dan kembali ke tempat asalnya.

Imam Abdul Wahhab al-Sya'roni mengatakan: “Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzunnun lalu berkata "Anakku telah dimangsa buaya". Ketika melihat duka yang mendalam dari perempuan tadi, Dzunnun datang ke sungai Nil sambil berkata "Ya Allah… keluarkan buaya itu". Lalu keluarlah buaya, Dzunnun membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata "Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu selalu aku merendahkanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT".

Suatu saat Dzunnun Al-Mishri memasuki Masjid Al-Haram. Ia melihat seorang lelaki tergeletak lemah tak berdaya di bawah naungan tiang masjid. Tubuhnya kurus dan tidak berbaju. Bibirnya yang pucat terus menerus menggumamkan nama Allah. Matanya menyimpan duka dan hatinya gelisah. Dzunnun datang mendekati pria itu dengan ucapan salam. Ia sapa lelaki itu dengan sebuah pertanyaan, Siapakah Anda, wahai Tuan? Orang itu menjawab pelan, Saya seorang asing. Tidakkah Tuan mempunyai nama? tanya Dzunnun dengan heran. Aku adalah orang yang dicari-cari, jawabnya lirih. Dzunnun bertanya sekali lagi, Adakah yang ingin Tuan katakan? Orang itu menjawab pertanyaan Dzunnun dengan suara tangisan. Air matanya makin deras ketika mata Dzunnun memandangnya tajam. Tanpa sengaja Dzunnun pun ikut haru melihatnya, ia jatuh iba dan menangis. Suasana yang terdengar ketika itu hanya suara tangisan yang mengungkapkan kesedihan. Dalam kesedihan lelaki itu meninggal dunia. Dzunnun tampak sedih dan heran. Ia tutupi tubuh lelaki itu dengan kain pendek yang ia miliki. Lalu ia pergi mencari kain kafan untuk melindungi tubuh pria itu. Setelah ia kembali dan mendapatkan kain kafan, Dzunnun dikejutkan dengan hilangnya tubuh lelaki itu. Ia bertasbih seraya bergumam, Siapakah yang telah mendahului aku untuk mengurusnya?


Ketika itu juga Dzunnun diserang kantuk yang menyerang matanya. Ia tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi dan mendengar sebuah suara yang menggemuruh, Hai Dzunnun, inilah orang yang dicari-cari oleh setan di dunia, tetapi setan tidak dapat menemukannya. Ia juga dicari Malik, penjaga neraka, namun ia tak dapat diketemukan juga. Begitu juga halnya dengan Ridwan, penjaga surga, yang mencarinya terus tetapi tak mendapatkannya. Dzunnun bertanya di dalam mimpinya, Di manakah sekarang ia berada? Terdengar jawaban, Ia berada di sisi Tuhannya.

Kisah sufi di atas mengingatkan kita pada suatu proses ketika kita sedang berusaha meniti jalan ruhani untuk mendekap Tuhan. Banyak jalan yang ditawarkan kepada kita agar perjalanan mendekati Tuhan dapat dilalui dengan mudah. Jalan itu di antaranya muhasabah, muraqabah, musyarathah, dan musyahadah. Kemampuan kita untuk mencoba dan mendalami makna jalan-jalan tadi sangatlah terbatas dan mungkin betapa sulitnya kita untuk memahami dan mengamalkan jalan-jalan itu. Tetapi setidaknya haruslah dicoba sedikit demi sedikit untuk mengenal dan memahami jalan-jalan tersebut tanpa ada rasa lelah dan bosan. Ini semua dimulai dari adanya kemauan dan usaha dari diri kita untuk mencoba mendekati dan memahami jalan itu secara terus menerus, walaupun hanya sebatas niat tulus dan harapan untuk bisa mendekati Allah.
Ketika seseorang telah berniat teguh untuk mulai menyempurnakan ibadahnya kepada Allah melalui jalan-jalan ruhani, syarat yang penting selain adanya kemauan dan usaha, adalah berusaha mencari pengetahuan perihal bagaimana cara mendekati Tuhan. Karena hal ini sangatlah penting sebagai landasan berpijak untuk menuju sasaran.

Salah satu pengetahuan yang penting itu adalah mengetahui jalan atau maqam yang menurut bebarapa sufi bervariasi jumlah dan caranya. Ada satu jalan, dari beberapa jalan yang ada, yang tentunya insya Allah bisa membantu kita untuk mudah memahami arti jalan-jalan atau maqam mendekati Tuhan. Jalan itu adalah jalan Taman Al-Fatihah. Jalan ini adalah jalan yang bertolak dari surat Al-Fatihah yang dimaksudkan untuk memudahkan kita mengkerangkakan dan mem-program diri agar konsentrasi perjalanan tetap terarah sesuai bangunan surat tersebut . Inti dari perjalanan ini sama dengan jalan-jalan yang ada, yang membedakannya adalah dalam hal kerangka pendekatan dan istilahnya. Al-Fatihah adalah surat yang paling sering dibaca dan disebut. Al-Fatihah, selain meliputi seluruh makna dalam Al-Qur an, juga memiki fenomena-fenomena penting lewat simbol ayat-ayatnya. Salah satu dari fenomena itu adalah simbol dari hirarki ayat dalam surat Al-Fatihah itu sendiri. Hal ini erat kaitannya dengan cara mendekati Tuhan lewat jalan-jalan atau maqam yang banyak kita ketahui dalam jargon sufi. Seringnya Al-Fatihah dibaca dalam shalat dan zikir kita, diharapkan semakin menjadi inspirasi kita untuk mengingat dan mengamalkan fenomena Al-Fatihah, yang memiliki desain sebagai jalan ruhani bagi pendamba yang merindukan perjumpaan dengan Tuhannya.

Jalan-jalan tersebut bertolak dari inti makna ayat-ayat yang terkandung di dalamnya. Jalan-jalan itu adalah sebagai berikut: Pertama, yang merupakan taman dari pintu gerbang untuk mendekati Tuhan, adalah jalan ta awwudz (jalan perlindungan). Jalan ini adalah jalan ketika kita berusaha melepaskan jubah keangkuhan diri dan menghilangkan ketergantungan total kepada selain Allah. Melepas jubah keangkuhan dimulai dengan mencoba melepaskan sifat-sifat hina yang ada di dalam diri kita yang bertolak belakang dengan ajaran Islam. Seperti hasad, riya , kikir, tamak, dan sebagainya. Lalu diakhiri dengan mencoba mematikan sifat angkuh dan mengakui kelemahan diri kita di hadapan Allah. Setelah itu kita hanya bergantung dan memohon perlindungan hanya kepada Allah saja dari segala hal, terutama kita mohon dibantu dalam berjalan mendekati-Nya. Ciri ketika seseorang telah sampai pada jalan ini ialah seringnya ia berusaha membebaskan hatinya dari pengaruh setan dan berusaha sekuat mungkin memenuhi hatinya dengan mengingat Allah. Hiasan taman Tuhan adalah ta awwudz .

Gambaran sederhana tentang jalan ini dapat dianalogikan dengan kasus ketika seseorang hendak mengdakan perjalanan jauh, yang pertama ia siapkan adalah bekal untuk melindungi diri dan memperlancar perjalanan. Bekal itu bisa berupa uang, makanan, alat pengaman, obat-obatan, dan sebagainya. Perjalanan yang dilengkapi dengan bekal yang cukup akan mempernyaman dan menghilangkan dari kecemasan. Begitu pula ketika kita hendak memulai perjalanan menuju Allah, kita memerlukan bekal yang dapat mempermudah dan memperlancar perjalanan kita. Bekal itu adalah pembersihan diri dari penyakit-penyakit hati dan pembebasan diri yang total terhadap setan dengan selalu menempatkan Allah di hati kita. Hal yang perlu perhatikan adalah merendah dihadapan Tuhan dan memohon bantuan dengan perlindungan-Nya yang kokoh.
Setelah kita berusaha memenuhi hati dengan mengingat Allah dan membebaskan diri dari penyakit-penyakit hati, kita beranjak ke jalan kedua yang merupakan pintu menuju ruangan utama, yaitu jalan basmalah (jalan pemberangkatan). Melalui jalan ini seseorang berusaha untuk memulai segala amalnya dengan berangkat atas nama Allah. Niat dan perbuatan yang akan dilakukannya adalah benar menurut syariat. Dalam istilah bahasa Arab, perbuatan tersebut disebut dengan husn fi li dan husn fâ ili. Amal yang dikerjakannya bersandar pada keridaan Allah. Ciri yang paling utama dari jalan ini adalah adanya usaha seseorang untuk mendahulukan kehendak Allah daripada kehendak hatinya. Ia letakkan kehendak Allah di atas kehendak dirinya, dan tidak segan atau ragu dalam melakukan kehendak Tuhannya itu. Dan niat hatinya dipenuhi dengan keikhlasan dalam melakukan suatu amal baik kepada Allah dan manusia. Ia melakukannya tanpa pamrih. Jalan ini bisa diibaratkan ketika seseorang telah mempersiapkan bekalnya dengan cukup dan hendak memulai perjalanannya, yang perlu ia lakukan adalah menaati aturan dalam perjalan, seperti rambu-rambu lalu lintas. Rambu lalu lintas dapat diibaratkan sebagai aturan Tuhan (perintah-Nya). Pejalan ruhani yang baik tentu tidak akan melanggar rambu-Nya. Begitu juga dengan niat perjalanannya, ia tidak akan mencelakakan orang demi lancarnya sebuah perjalanan. Ia hanya akan melakukan amal perjalanan sesuai dengan ketetapan syariat. Perbuatannya benar dan niatnya menjaga untuk tidak melawan aturan-Nya. Orang yang mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan tidak punya niat ingin mencelakakan orang orang lain demi kepentingan pribadinya akan selamat dalam menempuh perjalanan. Orang yang melakukan perjalanan ruhani dan selalu menghiasi amalnya dengan bersandar kepada husn fi’li dan husn fâ’ili (mendahulukan kehendak Tuhannya), akan memperoleh kasih sayang Tuhan.

Jalan ketiga, yang merupakan ruangan utama untuk menemui Tuhan adalah jalan hamdalah (jalan pujian). Setelah hati sang penempuh jalan ruhani dipenuhi dengan mengingat Tuhan (jalan ta awwudz) dan mendahulukan kehendak Allah (jalan basmalah), jiwa sang penempuh juga dipenuhi dengan keterikatan cinta yang dalam kepada Tuhannya. Saking penuhnya muatan cinta Ilahi di dalam hatinya, sampai-sampai pancarannya menghias ucapannya. Dari mulutnya hanya keluar nama Allah yang disertai dengan pujian dan kegelisahan. Pujiannya yang tulus khusus ia persembahkan hanya untuk Tuhannya saja. Kegelisahannya diakibatkan oleh pengakuan kelemahan diri dan pengakuan akan kasih Tuhan kepada dirinya. Hati penempuh jalan hamdalah selalu mengingat kasih sayang Allah yang luas, seakan akan ia sajalah yang memperoleh kasih sayang-Nya. Karena mengingat kebaikan-Nya, matanya mudah menangis. Karena mengingat perhatian-Nya, air matanya gampang menetes. Ia akui kekuasaan Allah dengan tulus tanpa cacat. Keikhlasan dan ketekunan ibadah mewarnai perilakunya. Baginya tidak ada kata berhenti dalam memohon petunjuk mulia dan pertolongan dari-Nya
Penempuh jalan ruhani yang telah sampai pada jalan hamdalah tersebut sama seperti orang asing yang dijumpai Dzunnun Al-Mishri. Orang asing itu hati dan ucapannya sangat dipenuhi dengan ungkapan kerinduan dan pengakuan atas keagungan Tuhan. Sampai ketika ia meninggal, jasadnya tidak terbujur begitu saja. Para makhluk Tuhan yang lain ingin segera merengkuh dan mengurusnya. Bahkan di dalam mimpi Dzunnun disebutkan orang itu sangat diburu dan didambakan para malaikat sekaligus setan. Malaikat Ridwan merindukan bertemu dan mengajaknya ke taman surga. Malaikat Malik mencari orang itu karena ingin mengucapkan salam kepada makhluk Allah yang mulia itu, dan memperkenalkan kepada ahli neraka sebuah hiasan surga yang indah. Yang paling menarik, setan memburunya terus menerus, tetapi tak berhasil mendapatkan dan menggodanya, karena jiwa orang itu telah bersinergi dengan aura cinta Tuhan yang menyelubungi seluruh tubuhnya, aura yang lahir dari jiwa yang penuh dengan kecintaan dan kegelisahan kepada Allah. Setan enggan mendekatinya karena kesulitan menembus energi cahaya auranya. Orang asing itu telah sampai pada ruangan utama Tuhan dan sudah dipersilahkan duduk di sisi Tuhannya dengan kebahagiaan yang tak terkira. Allâhummaj alnâ kadzâlik, innaka alâ kullî syaiin qadîr.

Demikianlah sekelumit kisah perjalanan hidup waliyullah, sufi besar Dzun Nun al-Misri yang wafat pada tahun 245 H. Semoga Allah me-ridlai-nya.

Wallahu a’lam.
Sumber : www.dinul-islam.org

KIDUNG PANGURIPAN “SAKA GURU”



TRIWIKRAMA


Triwikrama adalah tiga langkah “Dewa Wisnu” atau Atma Sejati (energi kehidupan) dalam melakukan proses penitisan. Awal mula kehidupan dimulai sejak roh manusia diciptakan Tuhan namun masih berada di alam sunyaruri yang jenjem jinem, dinamakan sebagai zaman kertayuga, zaman serba adem tenteram dan selamat di dalam alam keabadian. Di sana roh belum terpolusi nafsu jasad dan duniawi, atau dengan kata lain digoda oleh “setan” (nafsu negatif). Dari alam keabadian selanjutnya roh manitis yang pertama kali yakni masuk ke dalam “air” sang bapa, dinamakanlah zaman tirtayuga. Air kehidupan (tirtamaya) yang bersemayam di dalam rahsa sejati sang bapa kemudian menitis ke dalam rahim sang rena (ibu). Penitisan atau langkah kedua Dewa Wisnu ini berproses di dalam zaman dwaparayuga. Sebagai zaman keanehan, karena asal mula wujud sukma adalah berbadan cahya lalu mengejawantah mewujud menjadi jasad manusia. Sang Bapa mengukir jiwa dan sang rena yang mengukir raga. Selama 9 bulan calon manusia berproses di dalam rahim sang rena dari wujud badan cahya menjadi badan raga. Itulah zaman keanehan atau dwaparayuga. Setelah 9 bulan lamanya sang Dewa Wisnu berada di dalam zaman dwaparayuga. Kemudian langkah Dewa Wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi menjadi manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya. Panitisan terakhir Dewa Wisnu ke dalam zaman mercapadha. Merca artinya panas atau rusak, padha berarti papan atau tempat. Mercapadha adalah tempat yang panas dan mengalami kerusakan. Disebut juga sebagai Madyapada, madya itu tengah padha berarti tempat. Tempat yang berada di tengah-tengah, terhimpit di antara tempat-tempat gaib. Gaib sebelum kelahiran dan gaib setelah ajal.
KIDUNG PANGURIPAN “SAKA GURU”
Nah, di zaman Madya atau mercapadha ini manusia memiliki kecenderungan sifat-sifat yang negatif. Sebagai pembawaan unsur “setan”, setan tidak dipahami sebagai makhluk gaib gentayangan penggoda iman, melainkan sebagai kata kiasan dari nafsu negatif yang ada di dalam segumpal darah (kalbu). Mercapadha merupakan perjalanan hidup PALING SINGKAT namun PALING BERAT dan SANGAT MENENTUKAN kemuliaan manusia dalam KEHIDUPAN SEBENARNYA yang sejati abadi azali. Para perintis bangsa di zaman dulu telah menggambarkan bagaimana keadaan manusia dalam berproses mengarungi kehidupan di dunia selangkah demi selangkah yang dirangkum dalam tembang macapat (membaca sipat). Masing-masing tembang menggambarkan proses perkembangan manusia dari sejak lahir hingga mati. Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke dalam berbagai bentuk tembang menceritakan sifat lahir, sifat hidup, dan sifat mati manusia sebagai sebuah perjalanan yang musti dilalui setiap insan. Penekanan ada pada sifat-sifat buruk manusia, agar supaya tembang tidak sekedar menjadi iming-iming, namun dapat menjadi pepeling dan saka guru untuk perjalanan hidup manusia. Berikut ini alurnya :

1. MIJIL
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harus netepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa tinulis.Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang(bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.


2. MASKUMAMBANG
Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emassegantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.

3. KINANTI
Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.

4. SINOM
Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya sering salah kaprah.

5. DHANDANGGULA
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.

6. ASMARADANA
Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sanggurulaku, yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.

7. GAMBUH
Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.

8. DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja misalnya :duraatmoko, duroko, dursila, dura sengkara, duracara (bicara buruk),durajaya, dursahasya, durmala, durniti, durta, durtama, udur, dst. Tembang Durma, diciptakan untuk mengingatkan sekaligus menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.

9. PANGKUR
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna. Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi bathang..!!

10. MEGATRUH
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali. Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia merasa paling pintar, namun segala keburukannya dianggapnya demi membela diri. Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!

11. POCUNG
Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.
Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan kain kafan. Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.
Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri semua bikin gelisah hati. Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan. Malah-malah yang suka menuduh menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar menjadimemedi.

12. WIRANGRONG
Hidup di dunia ini penuh dengan siksaan, derita, pahit dan getir, musibah dan bencana. Namun manusia bertugas untuk merubah semua itu menjadi anugrah dan bahagia. Manusia harus melepaskan derita diri pribadi, maupun derita orang lain. Manusia harus saling asah asih dan asuh kepada sesama. Hidup yang penuh cinta kasih sayang, bukan berarti mencintai dunia secara membabi-buta, namun artinya manusia harus peduli, memelihara dan merawat, tidak membuat kerusakan bagi sesama manusia lainnya, bagi makhluk hidup dan maupun jagad raya seisinya. Itulah nilai kebaikan yang bersifat universal. Sebagai wujud nyata hamemayu hayuning bawana, rahmatan lil alamin.
Jangan lah terlambat, akan mengadu pada siapa bila jasad sudah masuk ke liang lahat (ngerong). Wirangrong, Sak wirange mlebu ngerong, berikut segala perbuatan memalukan selama hidup ikut dikubur bersama jasad yang kaku. Keburukannya akan diingat masyarakat, aibnya dirasakan oleh anak, cucu, dan menantu. Jika kesadaran terlambat manusia akan menyesal namun tak bisa lagi bertobat. Tidak pandang bulu, yang kaya atau melarat, pandai maupun bodoh keparat, yang jelata maupun berpangkat, tidak pandang derajat seluruh umat. Semua itu sekedar pakaian di dunia, tidak bisa menolong kemuliaan di akherat. Hidup di dunia sangatlah singkat, namun mengapa manusia banyak yang keparat. Ajalnya mengalami sekarat. Gagal total merawat barang titipan Yang Mahakuasa, yakni segenap jiwa dan raganya.
Jika manusia tak bermanfaat untuk kebaikan kepada sesama umat, dan kepada seluruh jagad, merekalah manusia bejat dan laknat.Pakaian itu hanya akan mencelakai manusia di dalam kehidupan yang sejati dan abadi. Orang kaya namun pelit dan suka menindas, orang miskin namun kejam dan pemarah, orang pandai namun suka berbohong dan licik, orang bodoh namun suka mencelakai sesama, semua itu akan menyusahkan diri sendiri dalam kehidupan yang abadi. Datanglah penyesalan kini, semua yang benar dan salah tak tertutup nafsu duniawi. Yang ada tinggalah kebenaran yang sejati. Mana yang benar dan mana yang salah telah dilucuti, tak ada lagi secuil tabirpun yang bisa menutupi. Semua sudah menjadi rumus Ilahi.
Di alam penantian nanti, manusia tak berguna tetap hidup di alam yang sejati dan hakiki, namun ia akan merana, menderita, dan terlunta-lunta. Menebus segala dosa dan kesalahan sewaktu hidup di planet bumi. Lain halnya manusia yang berguna untuk sesama di alam semesta, hidupnya di alam keabadian meraih kemuliaan yang sejati. Bahagia tak terperi, kemana-mana pergi dengan mudah sekehendak hati. Ibarat “lepas segala tujuannya” dan “luas kuburnya”. Tiada penghalang lagi, seringkali menengok anak cucu cicit yang masih hidup di dimensi bumi. Senang gembira rasa hati, hidup sepanjang masa di alam keabadian. Wirangrong juga diabadikan menjadi sebuah gending.

Sumber : Kang Mas Sabdolangit.

NGELMU KYAI PETRUK



NGELMU KYAI PETRUK




Kuncung ireng pancal putih,
Swarga durung weruh,
Neraka durung wanuh,
Mung donya sing aku weruh,

Uripku aja nganti duwe mungsuh.

Ribang bumi ribang nyawa,
Ana beja ana cilaka,
Ana urip ana mati,
Precil mijet wohing ranti,
Seneng mesti susah,
Susah mesti seneng,
Aja seneng nek duwe,
Aja susah nek ora duwe.

Senenge saklentheng susahe sarendheng,
Susah jebule seneng,
Seneng jebule susah,
Sugih durung karuan seneng,
Ora duwe durung karuan susah,
Susah seneng ora bisa disawang,
Bisane mung dirasakake dhewe.
Kapiran kapirun sapi ora nuntun,
Urip aja mung nenuwun,
Yen sapimu masuk angin tambanana,
Jamune ulekan lombok,
Bawang uyah lan kecap,
Wetenge wedhakana parutan jahe,
Urip kudu nyambut gawe.

Pipi ngempong bokong,
Iki dhapur sampurnaning wong,
Yen ngelak ngombea,
Yen ngelih mangana,
Yen kesel ngasoa,
Yen ngantuk turua.
Pipi padha pipi,
Bokong padha bokong,
Pipi dudu bokong,
Onde-onde jemblem bakwan,
Urip iku pindha wong njajan,
Kabeh ora bisa dipangan,
Miliha sing bisa kepangan,
Mula elinga dhandhanggulane jajan.
Pipis kopyor sanggupira lunga ngaji,
Le ngaji nyang be jadah,
Gedang goreng iku rewange,
Kepethuk si alu-alu,
Nunggang dangglem nyengkelit lopis,
Utusane tuwan jenang,
Arso mbedhah ing mendhut,
Rame nggennya bandayudha,
Silih ungkih tan ana ngalah sawiji,
Patinira kecucuran.
Ki Daruna Ni Daruni,
Wis ya, aku bali menyang Giri,
Aku iki Kyai Petruk ratuning Merapi,
Lho ratu kok kadi pak tani?,

Sumber: buku Air Kata-Kata, karangan Sindhunata.

Satu hal yang harus diingat, mempelajari kebudayaan suatu daerah bukan berarti kita menjadi “rasis” atau fanatik kedaerahan, namun itu semua sebagai wujud pertanggung jawaban kita terhadap peninggalan nenek moyang bangsa kita. Dan juga melestarikan kebudayan daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab warga daerah tersebut. Tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua. (ingat semboyan bangsa kita “Bhineka Tunggal Ika” Bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang hidup modern, tetapi juga bangsa yang mampu hidup modern tanpa meninggalkan ajaran dan nilai luhur kebudayaannya

Kinasih : yang terkasih
Bebendu : Bencana / azab
Kasunyatan : kenyataan
Menggalih : memikirkan
Nglurug tanpo bolo : datang tanpa pasukan
Menang tanpo ngasorake : menang tanpa mengalahkan
Digdoyo tanpo aji : sakti tanpa ilmu kesaktian
Mati sakjroning urip : mati didalam hidup
tuwin nerangkaken ukuran kaping papat : dan menerangkan ukuran yang ke empat
Aja Dumeh : jangan merasa dirinya lebih
Mulat Sarira, Hangrasa Wani : senantiasa mawas diri, instropeksi diri
Mikul dhuwur, Mendhem jero : Menghargai / menghormati serta menyimpanrahasia orang lain.
Ajining dhiri saka lati :Harga diri tergantung ucapannya
lan liyan-liyane(dan lainnya)

Kesimpulan
Ajaran Filsafat Jawa itu sangat jauh beda dengan Filsafat Barat yang mengedepankan logika yang nota bene menjadi asas pokok dari ajaran Filsafat zaman sekarang, bahkan Filsafat Jawa berhubungan erat dengan ajaran Islam. Ajaran-ajaran yang mendalam dan penuh dengan prinsip kehidupan bermasyarakat.
Filsafat Jawa berbicara tentang hal-hal yang sederhana, namun sangat mendasar dan mendalam dan selalu berbicara tentang kehidupan kita sehari-hari tentang perilaku kita, tentang hubungan kita dengan sesama bahkan hubungan dengan sang Khaliq. Dalam Filsafat jawa kita mendengar tentang adanya Ular-ular, Unen-unen, Sesanti, Mulat sariro dan Tepo Seliro, Tembang serta masih banyak lagi kata-kata( ajaran ) dalam Filsafat Jawa, yang mengandung banyak rahasia yang tersembunyi dalam kata-kata (ajaran) tersebut.



Jalaludin Rumi



Mawlana Jalaludin Rumi

Oleh Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
( Grandson of Mawlana Rumi )
“Dia adalah, orang yang tidak mempunyai ketiadaan,
Saya mencintainya dan Saya mengaguminya, Saya memilih
jalannya dan Saya memalingkan muka ke jalannya. Setiap
orang mempunyai kekasih, dialah kekasih saya, kekasih
yang abadi. Dia adalah orang yang Saya cintai, dia
begitu indah, oh dia adalah yang paling sempurna.
Orang-orang yang mencintainya adalah para pecinta yang
tidak pernah sekarat. Dia adalah dia dan dia dan
mereka adalah dia. Ini adalah sebuah rahasia, jika
kalian mempunyai cinta, kalian akan memahaminya.
( Sulthanul Awliya Mawlana Syaikh Nazhim Adil
al-Haqqani – Cucu dari Mawlana Rumi, Lefke, Cyprus
Turki, September 1998)
————————————–
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang
tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah
guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat
yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah
sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh
besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan
kalangan seniman sekitar tahun l648.
Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan
akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di
zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit
itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila
mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu
yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan
cepat mereka ingkari dan tidak diakui.
Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah
yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib.
Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula,
kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat
mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam
agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam
menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan
yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan
para budak yang tunduk patuh kepada panca indera.
Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah.
Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak
terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula
memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena
tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum
pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan
selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah
penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang
lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang
tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah
Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah
kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
PENGARUH TABRIZ
Fariduddin Attar, salah seorang ulama dan tokoh sufi,
ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun
pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak akan
menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian
mencatat, ramalan Fariduddin Attar itu tidak meleset.
Rumi, Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30
September 1207. Mawlana Rumi menyandang nama lengkap
Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi.
Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya
dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal
sebagai daerah Rum (Roma).
Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah
seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena
kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia
digelari Sulthanul Ulama. Namun rupanya gelar itu
menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan
mereka pun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin
ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh
hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk
keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima
tahun. Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup
berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain.
Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut).
Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya
(Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap
di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad,
mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga
mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama
yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula
ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.
Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada
Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi, sahabat dan
pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga
menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu.
Beliau baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut
mengajar di perguruan tersebut.
Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya
sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya
yang luas, di samping sebagai guru, beliau juga
menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu banyak
tokoh ulama yang berkumpul di Konya. Tak heran jika
Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul
para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika beliau
sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi
adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah
yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana
seorang ulama, beliau juga memberi fatwa dan tumpuan
ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu
berubah seratus delapan puluh derajat ketika beliau
berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin
alias Syamsi dari kota Tabriz.
Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan
khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya.
Tiba-tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi
Tabriz–ikut bertanya, “Apa yang dimaksud dengan
riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan seperti itu
Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat
pada sasarannya. Beliau tidak mampu menjawab.
Akhirnya Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah
bergaul beberapa saat, beliau mulai kagum kepada
Tabriz yang ternyata seorang sufi.
Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku
ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru besar
tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari
sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski
sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah
kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu
melihat kandungan ilmu yang tiada taranya.”
Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan
Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk
berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan
mengembangkan emosinya, sehingga beliau menjadi
penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan
menyanjung gurunya itu, beliau tulis syair-syair, yang
himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan Syams
Tabriz. Beliau bukukan pula wejangan-wejangan gurunya,
dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat Syams Tabriz.
Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi
baru, Syaikh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas
dorongan sahabatnya itu, selama 15 tahun terakhir masa
hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair
yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi.
Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700
bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran
tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk
apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain.
Bahkan Masnavi sering disebut Qur’an Persia. Karya
tulisnya yang lain adalah Ruba’iyyat (sajak empat
baris dengan jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam
bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang
metafisika), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya
kepada sahabat atau pengikutnya).
Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan
Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di
Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (para
Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul karena
para penganut thariqat ini melakukan tarian
berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling,
dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
WAFATNYA MAWLANA RUMI
Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya.
Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya
tiba-tiba dilanda kecemasan, karena mendengar kabar
bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, tengah menderita
sakit keras. Meskipun demikian, pikiran Rumi masih
menampakkan kejernihannya.
Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo’akan,
“Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu
dengan kesembuhan.” Rumi sempat menyahut, “Jika
engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan
bermakna baik. Tapi kematian ada juga yang kafir dan
pahit.”
Pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember
1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke
Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan,
penduduk setempat berdesak-desakan ingin mengantarkan
kepulangannya. Malam wafatnya beliau dikenal sebagai
Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para
pengikut Thariqat Maulawiyah masih memperingati
tanggal itu sebagai hari wafatnya beliau.
“SAMA”, Tarian Darwis yang Berputar
Suatu saat Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya
dalam tarian “Sama” ketika itu seorang sahabatnya
memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan,
“Seperti juga ketika salat kita berbicara dengan
Tuhan, maka dalam keadaan extase para darwis juga
berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama
yang merupakan bagian salawat atas baginda Nabi
Sallallahu alaihi wasalam adalah merupakan wujud musik
cinta demi cinta Nabi saw dan pengetahuanNya.
Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi
dalam Musik dan Sama, dimana musik merupakan gerbang
menuju keabadian dan Sama adalah seperti electron yang
mengelilingi intinya bertawaf menuju sang Maha
Pencipta. Semasa Rumi hidup tarian “Sama” sering
dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan
minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas solat
Isa sering melakukan tarian sama dijalan-jalan kota
Konya.
Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji
Sama dan perasaan harmonis alami yang muncul dari
tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi
menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama, “ketika
gendang ditabuh seketika itu perasaan extase merasuk
bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.
Tarian Sakral Sama dari tariqah Mevlevi Haqqani atau
Tariqah Mawlawiyah ini masih dilakukan saat ini di
Lefke, Cyprus Turki dibawah bimbingan Mawlana Syaikh
Nazim Adil al-Haqqani. Ajaran Sufi Mawlana Syaikh
Nazim dan mawlana Syaikh Hisyam juga merambah
keberbagai kota di Amerika maupun Eropa, sehingga
tarian Whirling Dervishes ini juga dilakukan di banyak
kota-kota di Amerika, Eropa dan Asia di bawah
bimbingan Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar-Rabbani.
Tarian Sama ini sebagai tiruan dari keteraturan alam
raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet.
Perayaan Sama dari tariqah Mevlevi dilakukan dalam
situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan
khusus pada abad ke tujuh belas. Perayaan ini untuk
menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi
dambakan dan ia lukisakna dalam istilah-istilah yang
menyenangkan.
Para Anggota Tariqah Mevlevi sekarang belajar
menarikan tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya.
Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan
seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling
kayu. Para penari masuk mengenakan pakaian putih yang
sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar
sebagai symbol alam kubur dan topi panjang merah atau
abu-abu yang menandakan batu nisan.
Akhirnya seorang Syaikh masuk paling akhir dan
menghormat para Darwish lainnya. Mereka kemudian balas
menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merah
menyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua
yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi
wafat. Syaikh mulai bersalawat untuk Rasulullah saw
yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik,
gendang, marawis dan seruling ney.
Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya
maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara
perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan
yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada puatran
ketiga Syaikh kembali duduk dan para penari melepas
jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan
kuburan untuk mengalami ‘ mati sebelum mati”,
kelahiran kedua.
Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka
mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran
tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari.
Ketika tarian hamper usai maka syaikh berdiri dan
alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan
musik penutup danpembacaan ayat suci Al-Quran.
Rombongan Penari Darwis, secara teratur menampilkan
Sama di auditorium umum di Eropa dan Amerika Serikat.
Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa
lambat tetapi para pemirsa mengatakan penampilan ini
sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atau
perasaan dzawq dan ketulusan para darwis menjadikan
gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir
penampilan para hadirin diminta untuk tidak bertepuk
tangan karena “Sama” adalah sebuah ritual spiritual
bukan sebuah pertunjukan seni.
Pada abad ke 17, Tariqah Mevlevi atau Mawlawiyah
dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun
Tariqah Mawlawiyah kehilangan sebagian besar
kebebasannya ketika berada dibawah dominasi
Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja menungkinkan
Tariqah Mawlawi menyebar luas keberbagai daerah dan
memperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan
musik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad
ke 18, Salim III seorang Sultan Utsmaniyah menjadi
anggota Tariqah Mawlawiyah dan kemudian dia
menciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi.
Selama abad ke 19 , Mawlawiyah merupakan salah satu
dari sekitar Sembilan belas aliran sufi di Turtki dan
sekitar tigapuluh lima kelompok semacam itu dikerajaan
Utsmaniyah. Karena perlindungan dari raja mereka,
Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengarh
diseluruh kerajaan dan prestasi cultural mereka
dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal
di barat., Di Eropa dan Amerika pertunjukkan keliling
mereka menyita perhatian public. Selama abad 19,
sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki
menarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang
dating ke Turki.
Pada tahun 1925, Tariqah Mawlawi dipaksa membubarkan
diri ditanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal
Ataturk pendiri modernisasi Turki melarang semua
kelompok darwis lengkap dengan upacara serta
pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi di Konya
diambil alih pemerintah dan diubah menjadi museum
Negara.
Motivasi utama Atatutrk adalah memutuskan hubungan
Turki dengan masa pertengahan guna mengintegrasikan
Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat.
Bagi Ataturk tariqah sufi menjadi ancaman bagi
modernisasi Turki. Pada saat itulah Syaikh Nazim
ق mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan
mengajar agama Islam di Siprus, Turki.
Mawlana Syaikh Nazim Adil al-Haqqani
Banyak murid yang mendatangi Mawlana Syaikh Nazim dan
menerima Thariqat Naqsybandi Haqqani. Selain itu
beliau adalah pemegang otoritas Mursyid tujuh Tariqah
Sufi besar lainnya, termasuk Mevlevi Haqqani atau
Mawlawiyah, Qodiriah, Syadziliyah, Chisty. Namun
sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan
karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang
Turki di Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkan
mengumandangkan azan pun tak diperbolehkan.
Langkah Syaikh Nazim yang pertama ketika itu adalah
menuju masjid di tempat kelahirannya dan
mengumandangkan azan di sana, segera beliau dimasukkan
penjara selama seminggu. Begitu dibebaskan, Syaikh
Nazim ق pergi menuju masjid besar di Nikosia dan
melakukan azan di menaranya. Hal itu membuat para
pejabat marah dan beliau dituntut atas pelanggaran
hukum.
Sambil menunggu sidang, Syaikh Nazim ق terus
mengumandangkan azan di menara-menara masjid di
seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus
bertambah, ada 114 kasus yang menunggu beliau.
Pengacara menasihati beliau agar berhenti melakukan
azan, namun Syaikh Nazim ق mengatakan, “ Tidak,
aku tidak bisa mengehntikannya. Orang-orang harus
mendengar panggilan azan untuk shalat.”
Ketika hari persidangan tiba, Mawlana Syaikh Nazim
didakwa atas 114 kasus mngumandangkan azan diseluruh
Cyprus. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, maka
beliau bisa dihukum 100 tahun penjara. Tetapi pada
hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki.
Seorang laki-laki bernama Adnan Menderes dicalonkan
untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih
menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid-masjid
dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab.
Inilah keajaiban yang diberikan Allah swt kepada
Mawlana Syaikh Nazim.
Hingga saat ini makam Rumi di Konya tetap terpelihara
dan dikelola oleh pemerintah Turki sebagai tempat
wisata. Meskipun demikian pengunjung yang datang
kesana yang terbanyak adalah para peziarah dan bukan
wisatawan. Melalui sebuah kesepakatan pemerintah
Turki, pada tahun 1953 akhirnya menyetujui tarian
“Sama” Tariqah Mawlawi dipeertontonkan lagi di Konya
dengan syarat pertunjukan tersebut bersifat cultural
untuk para wisatawan.
Rombongan Darwis juga diijinkan untuk berkelana secara
Internasional. Meskipun demikian secara keseluruhan
berbagai aspek sufisme tetap menjadi praktek yang
illegal di Turki dan para sufi banyak diburu sejak
Ataturk melarang agama mereka.
Wa min Allah at Tawfiq
————————————-
Maulana Jalaluddin Rumi, Menari di Depan Tuhan
“AKAN tiba saatnya, ketika Konya menjadi semarak, dan
makam kita tegak di jantung kota. Gelombang demi
gelombang khalayak menjenguk mousoleum kita,
menggemakan ucapan-ucapan kita.”
Itulah ucapan Jalaluddin Rumi pada putranya, Sultan
Walad, di suatu pagi. Dan waktu kemudian berlayar,
melintasi tahun dan abad. Konya seakan terlelap dalam
debu sejarah. “Tetapi, kota Anatolia Tengah ini tetap
berdiri sebagai saksi kebenaran ucapan Rumi,” tulis
Talat Said Halman, peneliti karya-karya mistik Rumi.
Kenyataannya memang demikian. Lebih dari 7 abad, Rumi
bak bayangan yang abadi mengawal Konya, terutama untuk
pada pengikutnya, the whirling dervishes, para darwis
yang menari. Setiap tahun, dari tanggal 2-17 Desember,
jutaan peziarah menyemut menuju Konya. Dari delapan
penjuru angin mereka berarak untuk memperingati
kematian Rumi, 727 tahun silam.
Siapakah sesungguhnya makhluk ini, yang telah
menegakkan sebuah pilar di tengah khazanah keagamaan
Islam dan silang sengketa paham? “Dialah penyair
mistik terbesar sepanjang zaman,” kata orientalis
Inggris Reynold A Nicholson. “Ia bukan nabi, tetapi ia
mampu menulis kitab suci,” seru Jami, penyair Persia
Klasik, tentang karya Rumi,Matsnawi.
Gandhi pernah mengutip kata-katanya. Rembrandt
mengabadikannya dikanvas, Muhammad Iqbal, filsuf dan
penyair Pakistan, sekali waktu pernah berdendang,
“Maulana mengubah tanah menjadi madu…. Aku mabuk
oleh anggurnya; aku hidup dari napasnya.” Bahkan, Paus
Yohanes XXIII, pada 1958 menuliskan pesan khusus:
“Atas nama dunia Katolik, saya menundukkan kepala
penuh hormat mengenang Rumi.”
Besar dalam kembara
Jalaluddin dilahirkan 30 September 1207 di Balkh, kini
wilayah Afganistan. Ia Putra Bahauddin Walad, ulama
dan mistikus termasyhur, yang diusir dari kota Balkh
tatkala ia berumur 12 tahun. Pengusiran itu buntut
perbedaan pendapat antara Sultan dan Walad.
Keluarga ini kemudian tinggal di Aleppo (Damaskus),
dan di situ kebeliaan Jalaluddin diisi oleh guru-guru
bahasa Arab yang tersohor. Tak lama di Damakus,
keluarga ini pindah ke Laranda, kota di Anatolia
Tengah, atas permintaan Sultan Seljuk Alauddin
Kaykobad.
Konon, Kaykobad membujuk dalam sebuah surat kepada
Walad, “Kendati saya tak pernah menundukkan kepala
kepada seorang pun, saya siap menjadi pelayan dan
pengikut setia Anda.” Di kota ini ibu Jalaluddin,
Mu’min Khatum, meninggal dunia. Tak lama kemudian,
dalam usia 18 tahun, Jalaluddin menikah. 1226, putra
pertama Jalaluddin, Sultan Walad, lahir. Setahun
kemudian, keluarga ini pindah ke Konya, 100 Km dari
Laranda. Di sini, Bahauddin Walad mengajar di
madrasah. 1229, anak kedua Jalaluddin, Alauddin,
lahir. Dua tahun kemudian, dalam usia 82 tahun,
Bahaudin Walad meninggal dunia.
Era baru pun dialami Jalaluddin. Dia menggantikan
Walad, dan mengajarkan ilmu-ilmu ketuhanan
tradisional, tanpa menyentuh mistik. Setahun setelah
kematian ayahnya, suatu pagi, madrasahnya kedatangan
tamu, Burhannuddin Muhaqiq, yang ternyata murid
terkasih Walad. Dan ketika menyadari sang guru telah
tiada, Muhaqiq mewariskan ilmunya pada Jalaluddin.
Burhanuddin pun menggembleng muridnya dengan
latihan tasawuf yang telah dimatangkan selama 4 abad
terakhir oleh para sufi, dan beberapa kali meminta dia
ke Damakus untuk menambah lmu. 8 tahun menggembleng,
1240, Burhanuddin kembali ke Kayseri. Jalaluddin Rumi
pun menggembleng diri sendiri.
Cinta adalah menari
Tahun 1244, saat berusia 37 tahun, Jalaluddin sudah
berada di atas semua ulama di Konya. Ilmu yang dia
timba dari kitab-kitab Persia, Arab, Turki, Yunani dan
Ibrani, membuat dia nyaris ensiklopedis. Gelar Maulana
Rumi (Guru bangsa Rum) pun dia raih. Tapi, di sebuah
senja Oktober, sehabis pulang dari madrasah,
seseorang yang tak dia kenal, menjegat langkahnya, dan
menanyakan satu hal. Mendengar pertanyaan itu, Rumi
langsung pingsan!
Sebuah riwayat mengatakan, orang tak dikenal itu
bertanya, “Siapa yang lebih agung, Muhammad Rasulullah
yang berdoa, ‘Kami tak mengenal-Mu seperti seharusnya’
atau seorang sufi Persia, Bayazid Bisthami yang
berkata, ‘Subhani, mahasuci diriku, betapa agungnya
kekuasaanku’. Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz
itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi
terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams,
ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah,
tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka
menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat,
selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup
tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk
menuju Cinta Ilahiah.
Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya,
membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga
membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang
dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.
Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat
Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu,
Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar
mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat
dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi
Syams. Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil
memadahkan syair-syair cinta Ilahi. “Tarian para
darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk
ratapan Rumi atas kehilangan Syams,” jelas Talat.
Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273, Rumi tak pernah
berhenti menari, kerana dia tak pernah berhenti
mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat
peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang
mencintai jadi yang dicintai. (Aulia A Muhammad)

~  SUARA MERDEKA
Dipetik dari http://groups.yahoo.com/group/gedongpuisi
Untuk biografi yang lebih lanjut, sila klik http://ms.wikipedia.org/wiki/Jalal_al-Din_Muhammad_Rumi