Persahabatan Rusa dan Burung Tatiuq


Pagi mulai menjelang. Suasana di desa sudah mulai ramai. Bapak-bapak petani bersiap-siap untuk memulai pekerjaan mereka di sawah. Berbekal makanan ringan dan kopi hangat, mereka berbogegas-gegas menuju sawah mereka masing-masing. Semua tampak bergembira. Tanaman padi mereka di sawah sudah mulai menguning, itu tandanya panen sebentar lagi tiba. Akhirnya hasil jerih payah mereka selama ini akan segera memetik hasilnya.


Sementara itu, di sebuah gerumbulan tanaman padi, seekor induk burung Tatiuq sedang mengerami tiga butir telurnya.
Ia tampak sedang khawatir. Sebentar-sebentar mata kecilnya menatap was-was buliran padi di atas kepalanya. Ia mendesah.

“Oh anak-anakku cepatlah menetas! Ibu khawatir para petani akan segera memanen padinya. Kita pasti akan mati terinjak-injak,” batinnya.

Ia semakin gelisah manakala mendengar perbincangan para petani. Rupanya panen akan dimulai besok.
“Aduh celaka…” ia mulai menangis.

Kebetulan hari itu, Rusa sahabatnya datang berkunjung. Ia tampak terkejut melihat sahabatnya menangis begitu pilu.

“Ada apa sahabatku? Apakah ada yang melukaimu?” tanyanya cemas.
“Tidak ada yang melukaiku hari ini sahabatku. Tapi jika besok para petani itu memanen padi mereka, sudah pasti aku dan anak-anakku akan mati terinjak-injak,” katanya terisak.

Rusa termenung. Ia kasihan melihat nasib sahabatnya. Diputarnya otaknya untuk mencari ide.
“Ah, aku tahu. Kau jangan khawatir lagi Tatiuq sahabatku. Aku punya ide cemerlang dan aku yakin akan berhasil. Kalian akan selamat!” seru Rusa bersemangat.

Induk burung Tatiuq merasa lega dan berjanji akan berdoa untuk usaha sahabatnya itu.

Esoknya, pagi-pagi sekali, para petani sudah mulai ramai memasuki area persawahan. Peralatan untuk memanen pun telah dibawanya. Saat itulah Rusa menampakkan diri di hadapan mereka. Ia berlari-lari kecil di dekat para petani seolah-olah ia binatang yang jinak.

“Hai lihat! Rusa ini jinak sekali. Kita bisa menangkapnya dan memotongnya,” kata salah seorang petani.
“Benar juga!” sambut yang lain.

Tanpa perlu dikomando mereka segera berusaha menangkap Rusa. Dengan lincah Rusa berkelit. Ia terus mempermainkan para petani hingga mereka melupakan rencana panennya. Saat tengah hari, mereka sudah kelelahan dan kepanasan. Rusa melenggang masuk ke dalam hutan meninggalkan para petani yang roboh kecapaian.

Hal itu berlangsung berhari-hari. Anak-anak burung Tatiuq akhirnya menetas. Dalam beberapa hari saja mereka sudah bisa mengepakkan sayap kecil mereka dan terbang meninggalkan persawahan. Sejak itu Rusa pun tak menampakkan diri lagi di depan para petani.

Induk burung Tatiuq dan anak-anaknya tinggal di sebuah dahan di tengah hutan. Mereka kerapkali mengunjungi Rusa di rumahnya. Tapi pagi ini rumah Rusa kosong. Mereka heran. Tidak biasanya Rusa pergi tanpa meninggalkan pesan. Kata Monyet yang tinggal di dekat situ, Rusa tidak kembali sejak semalam.
“Perasaanku jadi tidak enak,” gumam induk burung Tatiuq. “Anak-anak! Ayo kita pergi mencarinya!”
Mereka terbang mengelilingi hutan, ke tempat biasanya Rusa mencari rumput. Padang rumput memang penuh dengan Rusa dan Kancil tapi Rusa sahabat mereka tak ada di situ.

“Kita cari ke mata air! Mungkin ia sedang minum di sana,” ajak induk burung Tatiuq.

Olala dilihatnya Rusa sahabat mereka sedang merintih kesakitan, tergantung di seutas tali yang kuat. Ia pasti telah terjebak. Mereka segera menghampirinya.

“Rusa sahabatku, apa yang terjadi? Kenapa kau bisa terperangkap seperti ini?” tanya induk burung Tatiuq.
“Aduuh...kemarin sore setelah selesai merumput, duuu...h aku seperti biasa mencari minum di mata air ini. Aaaa.. karena gelap, aku tak melihat ada perangkap di tanah dan menginjaknya. Tahu-tahu tubuhku terangkat dan tergantung seperti ini. Aku tidak bisa membebaskan diriku. Kali ini mungkin aku akan mati,” keluhnya sedih.

“Hei jangan berkata begitu! Kau lupa kalau aku sahabatmu? Aku tak akan membiarkan siapapun melukaimu!” kata induk burung Tatiuq geram.

“Terima kasih sahabatku. Tapi tubuh kalian begitu kecil dan tali ini begitu kuat, bagaimana kalian bisa melepaskanku?” tanyanya bimbang.

“Tentu saja aku punya ide,” kata induk burung Tatiuq yakin. “Anak-anak! Ayo pergi dan kumpulkan belatung sebanyak-banyaknya.”

Keempatnya bergegas terbang untuk mengumpulkan belatung. Setelah cukup banyak terkumpul, mereka menempelkan belatung-belatung itu di tubuh Rusa. Rusa bergidik geli.

“Ih..buat apa belatung-belatung ini?” tanyanya.

“Tenang dan ikuti saja ideku. Sekarang berpura-puralah mati! Aku yakin pemburu itu akan melepaskanmu. Kita tidak akan jauh-jauh darimu dan mengawasimu,” janji induk burung Tatiuq.

Induk burung Tatiuq dan ketiga anaknya bertengger di dahan pohon tidak jauh dari tempat Rusa tergantung. Sementara itu Rusa berpura-pura mati sambil menahan geli di tubuhnya. Tak lama pemburu datang untuk memeriksa perangkapnya.

“Wah aku dapat Rusa!” teriaknya senang.

Tapi saat ia mendekatinya, dilihatnya tubuh Rusa sudah penuh dengan belatung.

“Ah sayang sekali aku terlambat,” desahnya kecewa. “Rusa ini sudah membusuk.”

Dengan kesal ia melepaskan Rusa dari jeratannya dan pergi utuk memeriksa perangkapnya yang lain. Setelah merasa aman, Rusa melompat gembira. Ia dan burung Tatiuq sahabatnya tertawa terbahak-bahak. Dengan gembira mereka meninggalkan tempat itu. Peristiwa itu menjadi buah bibir di hutan tempat mereka tinggal. Rusa dan burung Tatiuq tetap bersahabat dekat hingga anak cucu mereka.


0 Responses