Dzunnun Al-Misry

Imam Dzunnun Al-Misry



Sang wali yang haus hikmah
Sufi agung yang memberikan kontribusi besar terhadap dunia pemahaman dan pengamalan hidup dan kehidupan secara mendalam antara makhluk dengan sang pencipta, makhluk dan sesama ini mempunyai nama lengkap al-Imam al-A'rif al-Sufy al-Wasil Abu al-Faidl Tsauban bin Ibrahim, dan terkenal dengan Dzunnun al-Misry. Kendati demikian besar nama yang disandangnya namun tidak ada catatan sejarah tentang kapan kelahirannya.
  

Perjalanan menuju Mesir
Waliyullah yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu menjelajah bumi mensyiarkan agama Allah mencari jati diri, menggapai cinta dan ma'rifatulah yang hakiki.

Suatu ketika dalam perjalanan yang dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak diiringi nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang terjadi ia bertanya pada orang di sampingnya : "ada apa ini?". Orang tersebut menjawab : Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik ". Tidak jauh dari situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan jeritan orang yang sedang dirundung duka. "Fenomena apa lagi ini ?" begitu pikir sang wali. Iapun bertanya pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab : "Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu anggota keluarganya meningal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang memekakkan telinga ". Di sana ada suka yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu : "Ya Allah aku tidak mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka diberi anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi cobaan tapi tidak bersabar ". Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).

Perjalanan ke dunia tasawuf

Banyak cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasihnya. Kadang berliku penuh onak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzunnun al-Misri. Bukan wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya.
 
Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap Dzunnun dan bertanya "Wahai Abu al-Faidl !" begitu ia memanggil demi menghormatinya "Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT ? ". "Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu". Begitu jawab al-Misri seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran "Demi Dzat yang engkau sembah, ceritakan padaku" lalu Dzunnun berkata : "Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkum berisi biji-bijian Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk bertekad : "Cukup… aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri pada Allah SWT. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku".
 
Perjalanan ruhaniah
Ketika si kaya tak juga kenyang dengan bertumpuknya harta. Ketika politisi tak jua puas dengan indahnya kursi. Maka kaum sufipun selalu haus dengan kedekatan lebih dekat dengan Sang Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan yang tak sama.

Maka demikianlah, Dzunnun al-Misri tidak puas dengan hikmah yang ia dapatkan dari burung kecil tak berdaya itu. Baginya semuanya adalah media hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para wali, hardikan pendosa, jeritan kemiskinan, rintihan orang hina semua adalah hikmah.

Suatu malam, tatkala Dzunnun bersiap-siap menuju tempat untuk ber-munajat ia berpapasan dengan seorang laki-laki yang nampaknya baru saja mengarungi samudera kegundahan menuju ke tepi pantai kesesatan. Dalam senyap laki-laki itu berdoa "Ya Allah Engkau mengetahui bahwa aku tahu ber-istighfar dari dosa tapi tetap melakukannya adalah dicerca. Sungguh aku telah meninggalkan istighfar, sementara aku tahu kelapangan rahmatmu. Tuhanku… Engkaulah yang memberi keistimewaan pada hamba-hamba pilihan-Mu dengan kesucian ikhlas. Engkaulah Zat yang menjaga dan menyelamatkan hati para auliya' dari datangnya kebimbangan. Engkaulah yang menentramkan para wali, Engkau berikan kepada mereka kecukupan dengan adanya seseorang yang bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam pembaringan mereka, Engkau mengetahui rahasia hati mereka. Rahasiaku telah terkuak di hadapan-Mu. Aku di hadapan-Mu adalah orang lara tiada asa ". Dengan khusyu' Dzunnun menyimak kata demi kata rintihan orang tersebut. Ketika dia kembali memasang telinga untuk mengambil hikmah di balik ratapan lelaki itu, suara itu perlahan menghilang sampai akhirnya hilang sama sekali di telan gulitanya sang malam namun menyisakan goresan yang mendalam di hati sang wali ini.

Di saat yang lain ia bercerita pernah mendengar seorang ahli hikmah di lereng gunung Muqottom. " Aku harus menemuinya " begitu ia bertekad kemudian. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan iapun bisa menemukan kediaman lelaki misterius. Selama 40 hari mereka bersama, merenungi hidup dan kehidupan, memaknai ibadah yang berkualitas dan saling tukar pengetahuan. Suatu ketika Dzunnun bertanya : "Apakah keselamatan itu?". Orang tersebut menjawab "Keselamatan ada dalam ketakwaan dan al-Muroqobah (mengevaluasi diri)". "Selain itu ?". pinta Dzunnun seperti kurang puas. "Menyingkirlah dari makhluk dan jangan merasa tentram bersama mereka!". "Selain itu ?" pinta Dzunnun lagi. "Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintai-Nya. Maka Allah memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka itu adalah orang-orang yang merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar ketika sedang haus". Lalu orang tersebut meninggalkan Dzunnun al-Misri dalam kedahagaan yang selalu mencari kesegaran cinta Ilahi.

Kealiman Dzunnun al-Misri
Betapa indahnya ketika ilmu berhiaskan tasawuf. Betapa mahalnya ketika tasawuf berlandaskan ilmu. Dan betapa agungnya Dzunnun al-Misri yang dalam dirinya tertata apik kedalaman ilmu dan keindahan tasawuf. Nalar siapa yang mampu membanyah hujjahnya. Hati mana yang mampu berpaling dari untaian mutiara hikmahnya. Dialah orang Mesir pertama yang berbicara tentang urutan-urutan al-Ahwal dan al-Maqomaat para wali Allah.

Maslamah bin Qasim mengatakan "Dzunnun adalah seorang yang alim, zuhud wara', mampu memberikan fatwa dalam berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk perawi Hadits ". Hal senada diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu'aim dalam Hilyah-nya dan al-Dzahabi dalam Tarikh-nya bahwasannya Dzunnun telah meriwayatkan hadits dari Imam Malik, Imam Laits, Ibn Luha'iah, Fudail ibn Iyadl, Ibn Uyainah, Muslim al-Khowwas dan lain-lain. Adapun orang yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah al-Hasan bin Mus'ab al-Nakha'i, Ahmad bin Sobah al-Fayyumy, al-Tho'i dan lain-lain. Imam Abu Abdurrahman al-Sulamy menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzunnun telah meriwayatkan hadis Nabi dari Ibn Umar yang berbunyi " Dunia adalah penjara orang mu'min dan surga bagi orang kafir".

Di samping lihai dalam ilmu-ilmu Syara', sufi Mesir ini terkenal dengan ilmu lain yang tidak digoreskan dalam lembaran kertas, dan datangnya tanpa sebab. Ilmu itu adalah ilmu Ladunni yang oleh Allah hanya khusus diberikan pada kekasih-kekasih-Nya saja.

Karena demikian tinggi dan luasnya ilmu sang wali ini, suatu ketika ia memaparkan suatu masalah pada orang di sekitarnya dengan bahasa Isyarat dan Ahwal yang menawan. Seketika itu para ahli ilmu fiqih dan ilmu 'dhahir' timbul rasa iri dan dan tidak senang karena Dzunnun telah berani masuk dalam wilayah (ilmu fiqih) mereka. Lebih-lebih ternyata Dzunnun mempunyai kelebihan ilmu Robbany yang tidak mereka punyai. Tanpa pikir panjang mereka mengadukannya pada Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad dengan tuduhan sebagai orang Zindiq yang memporak-porandakan syari'at. Dengan tangan dirantai sufi besar ini dipanggil oleh Khalifah bersama murid-muridnya. "Benarkah engkau ini zahidnya negeri Mesir?". Tanya khalifah kemudian. "Begitulah mereka mengatakan". Salah satu pegawai raja menyela : " Amir al-Mu'minin senang mendengarkan perkataan orang yang zuhud, kalau engkau memang zuhud ayo bicaralah".

Dzunnun menundukkan muka sebentar lalu berkata "Wahai amiirul mukminin…. Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba yang menyembahnya dengan cara yang rahasia, tulus hanya karena-Nya. Kemudian Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus pula. Mereka adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong tanpa diisi oleh malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah SWT, Allah akan mengisinya dengan rahasia yang diberikan langsung pada mereka. Badan mereka adalah duniawi, tapi hati adalah samawi…….".

Dzunnun meneruskan mauidzoh-nya sementara air mata Khalifah terus mengalir. Setelah selesai berceramah, hati Khalifah telah terpenuhi oleh rasa hormat yang mendalam terhadap Dzunnun. Dengan wibawa khalifah berkata pada orang-orang datang menghadiri mahkamah ini : "Kalau mereka ini orang-orang Zindiq maka tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini". Sejak saat itu Khalifah al-Mutawaakil ketika disebutkan padanya orang yang Wara' maka dia akan menangis dan berkata "Ketika disebut orang yang Wara' maka marilah kita menyebut Dzunnun".

Pujian para ulama' terhadap Dzunnun
Tidak ada maksud paparan berikut ini supaya Dzunnun al-Misri menjadi lebih terpuji. Sebab apa yang dia harapkan dari pujian makhluk sendiri ketika Yang Maha Sempurna sudah memujinya. Apa artinya sanjungan berjuta manusia dibanding belaian kasih Yang Maha Penyayang ?. Dan hanya dengan harapan semoga semua menjadi hikmah dan manfaat bagi semua paparan berikut ini hadir.

Imam Qusyairy dalam kitab Risalah-nya mengatakan "Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (Tasawwuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam Wara', Haal, dan adab". Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan "Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan seperti keempat orang ini : Dzunnun al-Misry, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid al-Basry". Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama Syaikh Muhiddin ibn Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan "Dzunnun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita".

Pujian dan penghormatan pada Dzunnun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita : “Sahl al-Tustari (salah satu Imam tasawwuf yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara. Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang tinggi dan Isyaraat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab "Dulu waktu Dzunnun al-Misri masih hidup, aku tidak berani berbicara tidak berani bersandar pada mihrab karena menghormati beliau. Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku padaku : berbicaralah!! Engkau telah diberi izin".

Cinta dan ma'rifat
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang : "Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?". "Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku ",jawab Dzunnun. "kalau tidak ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku". Lebih jauh tentang ma'rifat ia memaparkan : "Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya". "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara: dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya".

Tentang cinta ia berkata : "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah". "Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya". "Pangkal dari jalan (Islam) ini ada pada empat perkara: “cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)".

Karomah Dzunnun al-Misri
Imam al-Nabhani dalam kitabnya “Jami' al-karamaat “ mengatakan: “Diceritakan dari Ahmad bin Muhammad al-Sulami: “Suatu ketika aku menghadap pada Dzunnun, lalu aku melihat di depan beliau ada mangkuk dari emas dan di sekitarnya ada kayu menyan dan minyak Ambar. Lalu beliau berkata padaku "engkau adalah orang yang biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam keadaan bergembira". Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham. Dengan izin Allah uang yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal sampai kota Balkh (kota di Iran).

Suatu hari Abu Ja'far ada di samping Dzunnun. Lalu mereka berbicara tentang ketundukan benda-benda pada wali-wali Allah. Dzunnun mengatakan "Termasuk ketundukan adalah ketika aku mengatakan pada ranjang tidur ini supaya berjalan di penjuru empat rumah lalu kembali pada tempat asalnya". Maka ranjang itu berputar pada penjuru rumah dan kembali ke tempat asalnya.

Imam Abdul Wahhab al-Sya'roni mengatakan: “Suatu hari ada perempuan yang datang pada Dzunnun lalu berkata "Anakku telah dimangsa buaya". Ketika melihat duka yang mendalam dari perempuan tadi, Dzunnun datang ke sungai Nil sambil berkata "Ya Allah… keluarkan buaya itu". Lalu keluarlah buaya, Dzunnun membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi, dalam keadaan hidup dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan berkata "Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu selalu aku merendahkanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT".

Suatu saat Dzunnun Al-Mishri memasuki Masjid Al-Haram. Ia melihat seorang lelaki tergeletak lemah tak berdaya di bawah naungan tiang masjid. Tubuhnya kurus dan tidak berbaju. Bibirnya yang pucat terus menerus menggumamkan nama Allah. Matanya menyimpan duka dan hatinya gelisah. Dzunnun datang mendekati pria itu dengan ucapan salam. Ia sapa lelaki itu dengan sebuah pertanyaan, Siapakah Anda, wahai Tuan? Orang itu menjawab pelan, Saya seorang asing. Tidakkah Tuan mempunyai nama? tanya Dzunnun dengan heran. Aku adalah orang yang dicari-cari, jawabnya lirih. Dzunnun bertanya sekali lagi, Adakah yang ingin Tuan katakan? Orang itu menjawab pertanyaan Dzunnun dengan suara tangisan. Air matanya makin deras ketika mata Dzunnun memandangnya tajam. Tanpa sengaja Dzunnun pun ikut haru melihatnya, ia jatuh iba dan menangis. Suasana yang terdengar ketika itu hanya suara tangisan yang mengungkapkan kesedihan. Dalam kesedihan lelaki itu meninggal dunia. Dzunnun tampak sedih dan heran. Ia tutupi tubuh lelaki itu dengan kain pendek yang ia miliki. Lalu ia pergi mencari kain kafan untuk melindungi tubuh pria itu. Setelah ia kembali dan mendapatkan kain kafan, Dzunnun dikejutkan dengan hilangnya tubuh lelaki itu. Ia bertasbih seraya bergumam, Siapakah yang telah mendahului aku untuk mengurusnya?


Ketika itu juga Dzunnun diserang kantuk yang menyerang matanya. Ia tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi dan mendengar sebuah suara yang menggemuruh, Hai Dzunnun, inilah orang yang dicari-cari oleh setan di dunia, tetapi setan tidak dapat menemukannya. Ia juga dicari Malik, penjaga neraka, namun ia tak dapat diketemukan juga. Begitu juga halnya dengan Ridwan, penjaga surga, yang mencarinya terus tetapi tak mendapatkannya. Dzunnun bertanya di dalam mimpinya, Di manakah sekarang ia berada? Terdengar jawaban, Ia berada di sisi Tuhannya.

Kisah sufi di atas mengingatkan kita pada suatu proses ketika kita sedang berusaha meniti jalan ruhani untuk mendekap Tuhan. Banyak jalan yang ditawarkan kepada kita agar perjalanan mendekati Tuhan dapat dilalui dengan mudah. Jalan itu di antaranya muhasabah, muraqabah, musyarathah, dan musyahadah. Kemampuan kita untuk mencoba dan mendalami makna jalan-jalan tadi sangatlah terbatas dan mungkin betapa sulitnya kita untuk memahami dan mengamalkan jalan-jalan itu. Tetapi setidaknya haruslah dicoba sedikit demi sedikit untuk mengenal dan memahami jalan-jalan tersebut tanpa ada rasa lelah dan bosan. Ini semua dimulai dari adanya kemauan dan usaha dari diri kita untuk mencoba mendekati dan memahami jalan itu secara terus menerus, walaupun hanya sebatas niat tulus dan harapan untuk bisa mendekati Allah.
Ketika seseorang telah berniat teguh untuk mulai menyempurnakan ibadahnya kepada Allah melalui jalan-jalan ruhani, syarat yang penting selain adanya kemauan dan usaha, adalah berusaha mencari pengetahuan perihal bagaimana cara mendekati Tuhan. Karena hal ini sangatlah penting sebagai landasan berpijak untuk menuju sasaran.

Salah satu pengetahuan yang penting itu adalah mengetahui jalan atau maqam yang menurut bebarapa sufi bervariasi jumlah dan caranya. Ada satu jalan, dari beberapa jalan yang ada, yang tentunya insya Allah bisa membantu kita untuk mudah memahami arti jalan-jalan atau maqam mendekati Tuhan. Jalan itu adalah jalan Taman Al-Fatihah. Jalan ini adalah jalan yang bertolak dari surat Al-Fatihah yang dimaksudkan untuk memudahkan kita mengkerangkakan dan mem-program diri agar konsentrasi perjalanan tetap terarah sesuai bangunan surat tersebut . Inti dari perjalanan ini sama dengan jalan-jalan yang ada, yang membedakannya adalah dalam hal kerangka pendekatan dan istilahnya. Al-Fatihah adalah surat yang paling sering dibaca dan disebut. Al-Fatihah, selain meliputi seluruh makna dalam Al-Qur an, juga memiki fenomena-fenomena penting lewat simbol ayat-ayatnya. Salah satu dari fenomena itu adalah simbol dari hirarki ayat dalam surat Al-Fatihah itu sendiri. Hal ini erat kaitannya dengan cara mendekati Tuhan lewat jalan-jalan atau maqam yang banyak kita ketahui dalam jargon sufi. Seringnya Al-Fatihah dibaca dalam shalat dan zikir kita, diharapkan semakin menjadi inspirasi kita untuk mengingat dan mengamalkan fenomena Al-Fatihah, yang memiliki desain sebagai jalan ruhani bagi pendamba yang merindukan perjumpaan dengan Tuhannya.

Jalan-jalan tersebut bertolak dari inti makna ayat-ayat yang terkandung di dalamnya. Jalan-jalan itu adalah sebagai berikut: Pertama, yang merupakan taman dari pintu gerbang untuk mendekati Tuhan, adalah jalan ta awwudz (jalan perlindungan). Jalan ini adalah jalan ketika kita berusaha melepaskan jubah keangkuhan diri dan menghilangkan ketergantungan total kepada selain Allah. Melepas jubah keangkuhan dimulai dengan mencoba melepaskan sifat-sifat hina yang ada di dalam diri kita yang bertolak belakang dengan ajaran Islam. Seperti hasad, riya , kikir, tamak, dan sebagainya. Lalu diakhiri dengan mencoba mematikan sifat angkuh dan mengakui kelemahan diri kita di hadapan Allah. Setelah itu kita hanya bergantung dan memohon perlindungan hanya kepada Allah saja dari segala hal, terutama kita mohon dibantu dalam berjalan mendekati-Nya. Ciri ketika seseorang telah sampai pada jalan ini ialah seringnya ia berusaha membebaskan hatinya dari pengaruh setan dan berusaha sekuat mungkin memenuhi hatinya dengan mengingat Allah. Hiasan taman Tuhan adalah ta awwudz .

Gambaran sederhana tentang jalan ini dapat dianalogikan dengan kasus ketika seseorang hendak mengdakan perjalanan jauh, yang pertama ia siapkan adalah bekal untuk melindungi diri dan memperlancar perjalanan. Bekal itu bisa berupa uang, makanan, alat pengaman, obat-obatan, dan sebagainya. Perjalanan yang dilengkapi dengan bekal yang cukup akan mempernyaman dan menghilangkan dari kecemasan. Begitu pula ketika kita hendak memulai perjalanan menuju Allah, kita memerlukan bekal yang dapat mempermudah dan memperlancar perjalanan kita. Bekal itu adalah pembersihan diri dari penyakit-penyakit hati dan pembebasan diri yang total terhadap setan dengan selalu menempatkan Allah di hati kita. Hal yang perlu perhatikan adalah merendah dihadapan Tuhan dan memohon bantuan dengan perlindungan-Nya yang kokoh.
Setelah kita berusaha memenuhi hati dengan mengingat Allah dan membebaskan diri dari penyakit-penyakit hati, kita beranjak ke jalan kedua yang merupakan pintu menuju ruangan utama, yaitu jalan basmalah (jalan pemberangkatan). Melalui jalan ini seseorang berusaha untuk memulai segala amalnya dengan berangkat atas nama Allah. Niat dan perbuatan yang akan dilakukannya adalah benar menurut syariat. Dalam istilah bahasa Arab, perbuatan tersebut disebut dengan husn fi li dan husn fâ ili. Amal yang dikerjakannya bersandar pada keridaan Allah. Ciri yang paling utama dari jalan ini adalah adanya usaha seseorang untuk mendahulukan kehendak Allah daripada kehendak hatinya. Ia letakkan kehendak Allah di atas kehendak dirinya, dan tidak segan atau ragu dalam melakukan kehendak Tuhannya itu. Dan niat hatinya dipenuhi dengan keikhlasan dalam melakukan suatu amal baik kepada Allah dan manusia. Ia melakukannya tanpa pamrih. Jalan ini bisa diibaratkan ketika seseorang telah mempersiapkan bekalnya dengan cukup dan hendak memulai perjalanannya, yang perlu ia lakukan adalah menaati aturan dalam perjalan, seperti rambu-rambu lalu lintas. Rambu lalu lintas dapat diibaratkan sebagai aturan Tuhan (perintah-Nya). Pejalan ruhani yang baik tentu tidak akan melanggar rambu-Nya. Begitu juga dengan niat perjalanannya, ia tidak akan mencelakakan orang demi lancarnya sebuah perjalanan. Ia hanya akan melakukan amal perjalanan sesuai dengan ketetapan syariat. Perbuatannya benar dan niatnya menjaga untuk tidak melawan aturan-Nya. Orang yang mematuhi rambu-rambu lalu lintas dan tidak punya niat ingin mencelakakan orang orang lain demi kepentingan pribadinya akan selamat dalam menempuh perjalanan. Orang yang melakukan perjalanan ruhani dan selalu menghiasi amalnya dengan bersandar kepada husn fi’li dan husn fâ’ili (mendahulukan kehendak Tuhannya), akan memperoleh kasih sayang Tuhan.

Jalan ketiga, yang merupakan ruangan utama untuk menemui Tuhan adalah jalan hamdalah (jalan pujian). Setelah hati sang penempuh jalan ruhani dipenuhi dengan mengingat Tuhan (jalan ta awwudz) dan mendahulukan kehendak Allah (jalan basmalah), jiwa sang penempuh juga dipenuhi dengan keterikatan cinta yang dalam kepada Tuhannya. Saking penuhnya muatan cinta Ilahi di dalam hatinya, sampai-sampai pancarannya menghias ucapannya. Dari mulutnya hanya keluar nama Allah yang disertai dengan pujian dan kegelisahan. Pujiannya yang tulus khusus ia persembahkan hanya untuk Tuhannya saja. Kegelisahannya diakibatkan oleh pengakuan kelemahan diri dan pengakuan akan kasih Tuhan kepada dirinya. Hati penempuh jalan hamdalah selalu mengingat kasih sayang Allah yang luas, seakan akan ia sajalah yang memperoleh kasih sayang-Nya. Karena mengingat kebaikan-Nya, matanya mudah menangis. Karena mengingat perhatian-Nya, air matanya gampang menetes. Ia akui kekuasaan Allah dengan tulus tanpa cacat. Keikhlasan dan ketekunan ibadah mewarnai perilakunya. Baginya tidak ada kata berhenti dalam memohon petunjuk mulia dan pertolongan dari-Nya
Penempuh jalan ruhani yang telah sampai pada jalan hamdalah tersebut sama seperti orang asing yang dijumpai Dzunnun Al-Mishri. Orang asing itu hati dan ucapannya sangat dipenuhi dengan ungkapan kerinduan dan pengakuan atas keagungan Tuhan. Sampai ketika ia meninggal, jasadnya tidak terbujur begitu saja. Para makhluk Tuhan yang lain ingin segera merengkuh dan mengurusnya. Bahkan di dalam mimpi Dzunnun disebutkan orang itu sangat diburu dan didambakan para malaikat sekaligus setan. Malaikat Ridwan merindukan bertemu dan mengajaknya ke taman surga. Malaikat Malik mencari orang itu karena ingin mengucapkan salam kepada makhluk Allah yang mulia itu, dan memperkenalkan kepada ahli neraka sebuah hiasan surga yang indah. Yang paling menarik, setan memburunya terus menerus, tetapi tak berhasil mendapatkan dan menggodanya, karena jiwa orang itu telah bersinergi dengan aura cinta Tuhan yang menyelubungi seluruh tubuhnya, aura yang lahir dari jiwa yang penuh dengan kecintaan dan kegelisahan kepada Allah. Setan enggan mendekatinya karena kesulitan menembus energi cahaya auranya. Orang asing itu telah sampai pada ruangan utama Tuhan dan sudah dipersilahkan duduk di sisi Tuhannya dengan kebahagiaan yang tak terkira. Allâhummaj alnâ kadzâlik, innaka alâ kullî syaiin qadîr.

Demikianlah sekelumit kisah perjalanan hidup waliyullah, sufi besar Dzun Nun al-Misri yang wafat pada tahun 245 H. Semoga Allah me-ridlai-nya.

Wallahu a’lam.
Sumber : www.dinul-islam.org
0 Responses