Air Tubah Di Balas Air Susu
Seorang ibu tidak cukup diperlakukan dengan baik, penuh hormat dalam setahun sekali saja, akan tetapi justru anak-anaknya yang berkewajiban untuk menjaga, memberikan perhatian dan taat kepadanya pada selain maksiat kepada Allah di setiap waktu dan tempat. (Majmu’ Fatawa 2/301)
Berbakti kepada ibu adalah perintah agama. Bahkan Rasulullah sampai menyebut kata ibu sebanyak tiga kali dalam konteks melayani dalam berbakti. Barulah yang keempat disebut bapak. Karena itu, bagi anak soleh, setiap hari adalah hari ibu dan hari ayah untuk memberikan perhatian kepada mereka.
Ibu tidak mengenal waktu mencurahkan kasihnya. Sejak pertama kali ia mual karena ngidam, sebenarnya ia sudah tersiksa demi janin yang dikandungnya. Tapi ibu menerimanya dengan hati lapang dan gembira. Sampai terus perutnya membuncit, ibu berada pada kondisi yang lelah di atas lelah (wahnan ’laa wahnin). Dan jika
ada orang yang senang jika perutnya ditendang-tendang anak kecil, ibu hamillah orangnya.Tanyakanlah pada wanita ibu tentang payahnya mengandung. Tanyakanlah pada wanita ibu tentang sakitnya melahirkan. Tanyakanlah pada wanita ibu tentang peristiwa menyusui. Tanyakanlah pada wanita ibu rasa berat saat datang waktu menyapih. Tanyakanlah pada wanita ibu saat buah hatinya demam tinggi. Tanyakanlah pada wanita ibu yang rela menghisap cairan yang menyumbat hidung buah hatinya. Tanyakanlah pada wanita ibu saat mengorbankan rasa jijiknya mengganti popok dan makan siangnya disisihkan dahulu. Tanyakanlah pada wanita ibu saat dengan telaten mengajari menuntun langkah-langkah kecil. Tanyakanlah wanita ibu saat melepas anaknya pergi digapit pasanganya. Dia yang selalu setia mengusap air mata si kecil saat tertumpah. Jika ada orang yang tidak pernah lelah mencintai, dialah wanita ibu.
Haruskah penghormatan atasnya dibatasi setahun sekali, sedangkan dia tidak pernah berhenti menyayangi anaknya? Jangan, sebab tidak ada harta yang cukup untuk membayar air susunya. Tidak ada hati yang bisa menggantikan dekapannya. Tidak ada kasih yang dapat menggantikan rahimnya. Takkan ada.
Apa yang harus dikatakan pada mereka yang sejak kecil hingga dewasa dia dibanggakan ibunya, tetapi ketika ibunya renta, disisihkannya wanita ibu itu dari mata kawan yang dihormatinya. Lalu dengan seolah menyesal dibuangnya wanita ibu itu di rumah jompo tanpa menimbang rasa. Dijenguknya sesekali jika perlu. Lalu seiring waktu ia melupakannya. Sampai panjang mata wanita itu ia tak lagi kunjung datang. Masa telah menipu wanita ibu itu pada angan-angan, mungkin esok atau lusa anaknya bertandang. Tetapi semuanya tinggal cerita. Foto di genggaman tangannya telah basah oleh air mata. Berulang kali ditatap dan dipeluknya seperti wujudnya dulu dalam dekapan.
”Nak, aku tetap menyayangimu, meski kau jauh melupakanku”.
Oh Allahku … hati ibu masih menyimpan seribu energi untuk membalas tuba dengan air susu.
Duhai sahabat, orang itu seperti putra Umi Tsawab Al-Hazaniyah, dia durhaka kepada ibunya karena isterinya selalu menghalangi untuk berbuat baik kepada ibunya, sehingga ibunya mengungkapkan kepedihan hati dalam sebuah syair:
Saya mengasuhnya di masa kecil tatkala masih seperti anak burung, sementara induknya yang menyuapi makanan dan melihat kulitnya yang masih baru tumbuh.
Setelah dewasa dia merobek pakaianku dan memukul badanku, apakah setelah masa tuaku aku harus mengajari etika dan adab.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Dia celaka! Dia celaka! Dia celaka!” lalu beliau ditanya; “Siapakah yang celaka, ya Rasulullah?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: ”Barang Siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu dari keduanya, tetapi dia tidak masuk surga” (HR. Muslim No. 4627)