Zuhud Tukang Parkir


ZUHUD
Ada empat tipe manusia berkaitan dengan harta dan gaya hidupnya

Pertama, orang berharta dan memperlihatkan hartanya. Orang seperti ini biasanya mewah gaya hidupnya, untung perilakunya ini masih sesuai dengan penghasilannya, sehingga secara finansial sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Hanya saja, ia akan menjadi hina kalau bersikap sombong dan merendahkan orang lain yang dianggap tak selevel dengan dia. Apalagi kalau bersikap kikir dan tidak mau membayar zakat atau mengeluarkan sedekah. Sebaliknya, ia akan terangkat kemuliaannya dengan kekayaannya itu jikalau ia rendah hati dan dermawan.

Kedua, orang yang tidak berharta banyak, tapi ingin kelihatan berharta. Gaya hidup mewahnya sebenarnya diluar kemampuannya, hal ini karena ia ingin selalu tampil lebih daripada kenyataan. Tidaklah aneh bila keadaan finansialnya lebih besar pasak daripada tiang. Nampaknya, orang seperti ini benar-benar tahu seni menyiksa diri. Hidupnya amat menderita, dan sudah barang tentu ia menjadi hina dan bahkan menjadi bahan tertawaan orang lain yang mengetahui keadaan yang sebenarnya.

Empat Istri Kita


Dahulu kala…

Ada seorang raja yang mempunyai 4 isteri.
Raja ini sangat mencintai isteri keempatnya dan selalu menghadiahkannya pakaian-pakaian yang mahal dan memberinya makanan yang paling enak. Hanya yang terbaik yang akan diberikan kepada sang isteri.
Dia juga sangat memuja isteri ketiganya dan selalu memamerkannya ke pejabat-pejabat kerajaan tetangga. Itu karena dia takut suatu saat nanti, isteri ketiganya ini akan meninggalkannya.

Sang raja juga menyayangi isteri keduanya. Karena isterinya yang satu ini merupakan tempat curahan hatinya, yang akan selalu ramah, peduli dan sabar terhadapnya. Pada saat sang raja menghadapi suatu masalah, dia akan mengungkapkan isi hatinya hanya pada isteri ketiga karena dia bisa membantunya melalui masa-masa sulit itu.

Isteri pertama raja adalah pasangan yang sangat setia dan telah memberikan kontribusi yang besar dalam pemeliharaan kekayaannya maupun untuk kerajaannya. Akan tetapi, si raja tidak peduli terhadap isteri pertamanya ini meskipun sang isteri begitu mencintainya, tetap saja sulit bagi sang raja untuk memperhatikan isterinya itu.

Hingga suatu hari, sang raja jatuh sakit dan dia sadar bahwa kematiannya sudah dekat.
Sambil merenungi kehidupannya yang sangat mewah itu, sang raja lalu berpikir, “Saat ini aku memiliki 4 isteri disampingku, tapi ketika aku pergi, mungkin aku akan sendiri”.

Lalu, bertanyalah ia pada isteri keempatnya, “Sampai saat ini, aku paling mencintaimu, aku sudah menghadiahkanmu pakaian-pakaian yang paling indah dan memberi perhatian yang sangat besar hanya untukmu.

Sekarang aku sekarat, apakah kau akan mengikuti dan tetap menemaniku?”
“Tidak akan!” balas si isteri keempat itu, ia pun pergi tanpa mengatakan apapun lagi.
Jawaban isterinya itu bagaikan pisau yang begitu tepat menusuk jantungnya.
Raja yang sedih itu kemudian berkata pada isteri ketiganya, “Aku sangat memujamu dengan seluruh jiwaku. Sekarang aku sekarat, apakah kau tetap mengikuti dan selalu bersamaku?”
“Tidak!” sahut sang isteri. “Hidup ini begitu indah! Saat kau meninggal, akupun akan menikah kembali!”
Perasaan sang rajapun hampa dan membeku.

Masikah Kita Mengeluh,,,?

RENUNGKANLAH

Jika kita sering mengeluh setiap hari, kurang ini kurang itu, coba lihat gambar-gambar dibawah ini.
Jika Anda merasa selalu hidup dalam tekanan, coba lihatlah mereka..
Jika Anda merasa pekerjaan anda sangatlah berat, bagaimana dengan dia??
Bila Anda merasa gaji anda sangat sedikit, bagaimana dengan anak yg malang ini??
miskin
Jika Anda merasa belajar adalah sebuah beban, contohlah semangat dia..
belajar
Jika Anda sempat merasa putus asa, ingatlah orang ini??
putus asa
Pantaskah kita mengeluh tentang makanan disaat ia sedang membayangkan makan happy meal??
miskin
Jika Anda merasa hidup anda sangat menderita, apakah anda juga merasakan penderitaan seperti orang ini??
menderita
Jika Anda merasa hidup Anda tidak adil, bagaimana dengan dia??
tidak adil
Di saat kita kecil dimanja dan di sayang, manjakah mereka?
anak kecil
Tdk merasa bersalahkah kita masih selalu tidak mendengarkan bahkan melawan ibu kita?
ibu
Tanyalah ke dalam diri kita sendiri, dibandingkan dengan mereka, seberapa beruntungkah sebenarnya kita?
Masih pantaskah kita selalu mengeluh akan masalah-masalah “kecil” yang menimpa hidup kita?
Di saat kita dihadapi oleh berbagai rintangan dalam hidup, ingat, kita tidak pernah kehilangan opsi untuk tetap bersyukur..

Bukankah bersyukur merupakan cara paling mudah untuk mencicipi kebahagiaan??
Mari kita Renungkan Bersama..

Sumber Kaskus

Kalau Besok Mati ,Kita Bawa Apa

Bekal Kamatian

Betapa banyak orang yang gamang menghadapi hari tua. Takut tak memiliki harta yang cukup saat tubuh tak lagi kuat bekerja. Takut kebutuhan hidup tak terpenuhi saat pendapatan tak lagi ada. Maka, kasak-kusuk orang mencari solusi mengatasi kegamangan ini. Tak heran bila kemudian pegawai negeri sipil banyak diminati para pencari kerja meski –konon- gajinya lebih kecil dari pegawai swasta.

Alasannya, pegawai negeri sipil menjamin masa tua. Para pegawai swasta pun tak mati asa. Mereka ikut asuransi hari tua. Mereka rela pendapatannya dipotong setiap bulan. Begitu juga mereka yang tak akrab dengan asuransi, memilih untuk mengumpulkan sendiri rupiah demi rupiah di pundi-pundi mereka.

Alangkah piciknya kita jika hanya sibuk mempersiapkan diri sebatas hari tua saja! Padahal, setelah hari tua, ada masa yang jauh lebih penting untuk kita persiapkan bekalnya. Masa setelah kematian menjemput kita. Masa ini jauh lebih lama ketimbang masa tua kita. Bahkan kita akan kekal berada didalamnya. Masa ini meminta konsekuensi jauh lebih berat ketimbang masa tua kita. Jika tak kita persiapkan dengan matang, maka penderitaan yang sungguh tak tertahankan bakal menanti kita. Sebaliknya, jika kita persiapkan dengan baik, maka kebahagiaan yang sungguh tak terbayangkan bakal menyambut kita.

Sayangnya, banyak diantara kita yang lebih merasa gamang menghadapi mas tua ketimbang masa ini. Banyak diantara kita yang lalai, seolah-olah masa ini masih lama. Padahal, masa ini bisa terjadi jauh-jauh hari sebelum masa tua tiba. Bahkah ia bisa datang esok, saat kita berada di usia “emas”. Atau jangan-jangan…???!,, Astaghfirullah hal adzim…,,

Jadi, sebelum tiba masa di mana nafas sudah tersekat di tenggorokan, lekas kumpulkan bekal! Mumpung sekarang belum terlambat.

Wallahu a’lamu bish shawab

Sumber majalah Hidayatullah edisi Oktober 2008

Do'a Kita Kepada Allah


Doa yang kupanjatkan ketika aku masih gadis

“Ya Allah beri aku calon suami yang baik, yang sholeh.
Beri aku suami yang dapat kujadikan imam dalam keluargaku.”
Doa yang kupanjatkan ketika selesai menikah

“Ya Allah beri aku anak yang sholeh dan sholehah,
agar mereka dapat mendoakanku ketika nanti aku mati
dan menjadi salah satu amalanku yang tidak pernah putus.”
Doa yang kupanjatkan ketika anak-anakku lahir

“Ya Allah beri aku kesempatan menyekolahkan mereka
di sekolah Islami yang baik meskipun mahal,
beri aku rizki untuk itu ya Allah….”

Doa yang kupanjatkan ketika anak-anakku sudah mulai sekolah

“Ya Allah….. jadikan dia murid yang baik sehingga dia dapat bermoral
Islami, agar dia bisa khatam Al Quran pada usia muda.”
Doa yang kupanjatkan ketika anak-anakku sudah beranjak remaja

“Ya Allah jadikan anakku bukan pengikut arus modernisasi yang
mengkhawatirkanku. Ya Allah aku tidak ingin ia mengumbar auratnya, karena
dia ibarat buah yang sedang ranum.”
Doa yang kupanjatkan ketika anak-anakku menjadi dewasa

“Ya Allah entengkan jodohnya, berilah jodoh yang sholeh pada mereka, yang
bibit, bebet, bobotnya baik dan sesuai setara dengan keluarga kami.”
Doa yang kupanjatkan ketika anakku menikah “Ya Allah jangan kau putuskan
tali ibu & anak ini, aku takut kehilangan perhatiannya dan takut kehilangan
dia karena dia akan ikut suaminya.”

Doa yang kupanjatkan ketika anakku akan melahirkan

“Ya Allah mudah-mudahan cucuku lahir dengan selamat.
Aku inginkan nama pemberianku pada cucuku, karena aku ingin memanjangkan
teritoria wibawaku sebagi ibu dari ibunya
cucuku.”

Ketika kupanjatkan doa-doa itu, aku membayangkan Allah tersenyum dan
berkata……

“Engkau ingin suami yang baik dan sholeh
sudahkah engkau sendiri baik dan sholehah?
Engkau ingin suamimu jadi imam,
akankah engkau jadi makmum yang baik?”

“Engkau ingin anak yang sholehah,
sudahkah itu ada padamu dan pada suamimu.
Jangan egois begitu……
masa engkau ingin anak yang sholehah
hanya karena engkau ingin mereka mendoakanmu….
tentu mereka menjadi sholehah utama karena-Ku,
karena aturan yang mereka ikuti haruslah aturan-Ku.”

“Engkau ingin menyekolahkan anakmu di sekolah Islam,
karena apa?…… prestige? …… atau….
engkau tidak mau direpotkan dengan mendidik Islam padanya?
Engkau juga harus belajar,
Engkau juga harus bermoral Islami,
Engkau juga harus membaca Al Quran dan berusaha mengkhatamkannya.”

“Bagaimana engkau dapat menahan anakmu tidak menebarkan pesonanya dengan
mengumbar aurat, kalau engkau sebagai ibunya jengah untuk menutup aurat?
Sementara engkau tahu Aku wajibkan itu untuk keselamatan dan kehormatan
umat-Ku.”

“Engkau bicara bibit, bebet, bobot untuk calon menantumu,
seolah engkau tidak percaya ayat 3 & 26 surat An Nuur dalam Al Quran-Ku.
Percayalah kalau anakmu dari bibit, bebet, bobot yang baik
maka yang sepadanlah yang dia akan dapatkan.”

“Engkau hanya mengandung, melahirkan dan menyusui anakmu.
Aku yang memiliki dia saja, Aku bebaskan dia dengan kehendaknya.
Aku tetap mencintainya, meskipun dia berpaling dari-Ku,
bahkan ketika dia melupakan-Ku.
Aku tetap mencintainya.”

“Anakmu adalah amanahmu,
cucumu adalah amanah dari anakmu,
berilah kebebasan
untuk melepaskan busur anak panahnya sendiri yang menjadi amanahnya.”

Lantas…… aku malu…… dengan imajinasiku sendiri….
aku malu……

aku malu akan tuntutanku…….
Maafkan aku ya Allah……

oleh: Ratih Sanggarwati. SuMber : MAilingList: As-Syifa

Apa Devinisi Mampu


Di suatu senja sepulang kantor, saya masih berkesempatan untuk ngurus tanaman di depan rumah, sambil memperhatikan beberapa anak asuh yang sedang belajar menggambar peta, juga mewarnai. Hujan rintik rintik selalu menyertai di setiap sore di musim hujan ini.

Di kala tangan sedikit berlumuran tanah kotor,…terdengar suara tek…tekk.. .tek…suara tukang bakso dorong lewat. Sambil menyeka keringat…, ku hentikan tukang bakso itu dan memesan beberapa mangkok bakso setelah menanyakan anak – anak, siapa yang mau bakso ?
“Mauuuuuuuuu. …”, secara serempak dan kompak anak – anak asuhku menjawab.
Selesai makan bakso, lalu saya membayarnya. …
Ada satu hal yang menggelitik fikiranku selama ini ketika saya
membayarnya, si tukang bakso memisahkan uang yang diterimanya. Yang satu disimpan dilaci, yang satu ke dompet, yang lainnya ke kaleng bekas kue semacam kencleng. Lalu aku bertanya atas rasa penasaranku selama ini.

“Mang kalo boleh tahu, kenapa uang – uang itu Emang pisahkan? Barangkali ada tujuan ?” “Iya pak, Emang sudah memisahkan uang ini selama jadi tukang bakso yang sudah berlangsung hampir 17 tahun. Tujuannya sederhana saja, Emang hanya ingin memisahkan mana yang menjadi hak mana yang menjadi hak orang lain / tempat ibadah, dan mana yang menjadi hak cita -cita penyempurnaan iman “.
“Maksudnya.. …?”, saya melanjutkan bertanya.
“Iya Pak, kan agama dan Tuhan menganjurkan kita agar bisa berbagi dengan sesama. Emang membagi 3, dengan pembagian sebagai berikut :

1. Uang yang masuk ke dompet, artinya untuk memenuhi keperluan hidup sehari – hari Emang dan keluarga.

2. Uang yang masuk ke laci, artinya untuk infaq/sedekah, atau untuk melaksanakan ibadah Qurban. Dan alhamdulillah selama 17 tahun menjadi tukang bakso, Emang selalu ikut qurban seekor kambing, meskipun kambingnya yang ukuran sedang saja.

3. Uang yang masuk ke kencleng, karena emang ingin menyempurnakan agama yang Emang pegang yaitu Islam. Islam mewajibkan kepada umatnya yang mampu, untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah haji ini tentu butuh biaya yang besar. Maka Emang berdiskusi dengan istri dan istri menyetujui bahwa di setiap penghasilan harian hasil jualan bakso ini, Emang harus menyisihkan sebagian penghasilan sebagai tabungan haji. Dan insya Allah selama 17 tahun menabung, sekitar 2 tahun lagi Emang dan istri akan melaksanakan ibadah haji.

Hatiku sangat…… …..sangat tersentuh mendengar jawaban itu. Sungguh sebuah jawaban sederhana yang sangat mulia. Bahkan mungkin kita yang memiliki nasib sedikit lebih baik dari si emang tukang bakso tersebut, belum tentu memiliki fikiran dan rencana indah dalam hidup seperti itu. Dan seringkali berlindung di balik tidak mampu atau belum ada rejeki.

Terus saya melanjutkan sedikit pertanyaan, sebagai berikut : “Iya memang bagus…,tapi kan ibadah haji itu hanya diwajibkan bagi yang mampu, termasuk memiliki kemampuan dalam biaya….”.
Ia menjawab, ” Itulah sebabnya Pak. Emang justru malu kalau bicara soal mampu atau tidak mampu ini. Karena definisi mampu bukan hak pak RT atau pak RW, bukan hak pak Camat ataupun MUI.
Definisi “mampu” adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mendefinisikannya sendiri. Kalau kita mendefinisikan diri sendiri sebagai orang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita akan menjadi manusia tidak mampu. Sebaliknya kalau kita mendefinisikan diri sendiri, “mampu”, maka Insya Allah dengan segala kekuasaan dan kewenangannya Allah akan memberi kemampuan pada kita”.
“Masya Allah…, sebuah jawaban elegan dari seorang tukang bakso”.

dari berbagai sumber

Ketika Aku Menjaganya, Allah Menjagaku


“Ta, hafalannya udah nambah belum?” “Mmm… Mmm… Belum.” Begitu terus pertanyaan papah dan begitu terus jawabanku. Menjaga yang sudah ada saja sulit, begitu pikirku dan aku berusaha untuk muroja’ah saja. Nyatanya untuk muroja’ah saja tanpa ziyadah memang sudah sangat susah.
Aku bukan penggemar seorang Mario Teguh, hanya waktu itu kebetulan televisi yang dinyalakan sedang menayangkan Golden Ways. “Jangan risaukan akan kekurangan-kekurangan kita, tapi maksimalkan kelebihan yang kita miliki walaupun hanya satu bidang.” Saat itu aku berfikir dan menyadari ternyata selama ini aku memang selalu berputar-putar pada kekuranganku. Tanpa pernah memaksimalkan kelebihan yang aku miliki.

Selepas Ramadhan maka mulailah kulanjutkan ziyadahku. Sejak sampai SMU ziyadahku hanya mentok di juz 26. Juz 25 ayatnya mulai susah, kurang familiar, dan panjang-panjang. Mungkin ini karena kurang motivasi saja. Saat kuliah aku ikut lembaga tahfidz qur’an An-Nur. Awalnya diajak oleh senior satu wisma. Sempat pikir-pikir juga sih karena biayanya cukup mahal untuk ukuran anak kos yang jauh dari orang tua.
Ternyata di wisma ada tiga orang senior dan satu orang temanku yang juga ikut, aku jadi semangat karena ada teman. Di An-Nur memang menganjurkan ziyadah mulai dari depan (Al-Baqoroh). Akhirnya mulailah aku berkutat di Al-Baqoroh. Ayatnya ternyata memang relatif lebih mudah, easy listening rasanya. Dan lagi-lagi hanya mentok di akhir Al-Baqoroh. Karena kesibukan (yang sebenarnya mungkin hanya alasan semata) dan

Sejarah HaNaCaRaKa



Aksårå Hånåcåråkå.
Aksårå Hånåcåråkå ( utåwå ) iku sarupaníng aksårå síng kaanggo ing Tanah Jåwå lan saubêngé kåyå tå ing Madurå, Bali, Lómbók lan ugå Tatar Sundhå. 

Aksårå Hånåcåråkå iku ugå diarani aksårå Jåwå nangíng sajatiné ukårå iki kurang srêg amargå aksårå Jåwå iku warnané akèh saliyané iku aksårå iki ora namúng diênggo nulís båså Jåwå waé.
Aksårå iki uga diênggo nulís båså Sangskrêta, båså Arab, båså Bali, båså Sundhå, basa Madurå, båså Sasak lan ugå båså Mêlayu.
Nangíng ing artikêl iki ukårå Hånåcåråkå lan aksårå Jåwå diênggo loro-loroné lan yèn ånå ukårå aksårå Jåwå síng dirujúk iku aksårå Hånåcåråkå.


Aksårå Hånåcåråkå kagólóng aksårå jinis abugida utåwå hibridha antårå aksårå silabik lan aksårå alfabèt.
Aksårå silabik iki têgêsé yèn sabên aksårå ugå nyandhang sawijiníng swårå. Hanacaraka kalêbu kulåwargå aksårå Brahmi síng asalé såkå Tanah Hindhústan.
Yèn bêntúké, aksårå Hånåcåråkå ånå wís kåyå saiki wiwít minimal abad kapíng 17.
Aksårå Hånåcåråkå iki jênêngé dijupúk såkå limang aksårå wiwitané.


Étimologi lan lêgèndha asal 
Aksårå Hånåcåråkå jênêngé dijupúk såkå urutan limang aksårå wiwítan iki síng uniné "hånå cåråkå".
Urutan dhasar aksårå Jåwå nglêgêna iki cacahé ånå róngpulúh lan nglambangaké kabèh foném båså Jåwå.
Urutan aksårå iki kåyå mêngkéné:


hå nå cå rå kå
då tå så wå lå
på dhå jå yå nyå
må gå bå thå ngå

Urutan iki uga biså diwåcå dadi ukårå-ukårå:
 
"Hånå cåråkå" têgêsé "Ånå utusan""Dåtå såwålå" têgêsé "Pådhå garêjêgan"
"Pådhå jåyånyå" têgêsé "Pådhå digjayané"
"Mågå båthångå" têgêsé "Pådhå dadi bathang".

Urutan ukårå iki digawé miturút lêgèndha yèn aksårå Jåwå iku diastå déníng Aji Såkå såkå Tanah Hindhústan mênyang Tanah Jåwå.
Banjúr Aji Såkå ngarang urutan aksårå kåyå mêngkéné kanggo mèngêti róng pånåkawané síng sêtyå nganti pati: Dorå lan Sêmbådå.
Loroné mati amêrgå ora bisa mbúktèkaké dhawuhé sang ratu.
Mulå Aji Såkå banjúr nyiptakaké aksårå Hånåcåråkå supåyå biså kanggo nulís layang.

Caritané kåyå mêngkéné:
Kacaritå ing jaman mbiyèn ånå wóng såkå Tanah Hindhústan anóm jênêngé Aji Såkå.
Dhèwèké putrané ratu, nangíng kêpéngín dadi pandhitå síng pintêr.
Kasênêngané mulang kawrúh rupå-rupå. Dhèwèké banjúr péngín lunga mêncaraké ngèlmu kawruh ing Tanah Jåwå.


Banjúr anuju sawijiníng dinå Aji Såkå sidå mangkat mênyang Tanah

Air Wudlu & Sakit Mata


Suatu hari Junaid Al-Banghdadi sakit mata. Ia diberitahu oleh seorang tabib, jika ingin cepat sembuh jangan sampai matanya terkena air.

    Ketika tabib itu pergi, ia nekad berwudhu membasuh mukanya untuk sholat kemudian tidur. Anehnya, sakit matanya malah menjadi sembuh. Saat itu terdengar suara "Junaid menjadi sembuh matanya kerana ia lebih ridha kepada-Ku". Seandainya ahli neraka minta kepada-Ku dengan semangat Junaid niscaya Aku luluskan permintaannya." Kata suara itu.

    Tabib yang melihat mata Junaid sembuh itu menjadi keheranan, "Apa yang telah engkau lakukan?"

    "Aku telah membasuh muka dan mataku kemudian sholat", ujarnya."

    Tabib itu memang beragama Nashrani, dan setelah melihat peristiwa itu, dia beriman. "Itu ubat dari Tuhan yang menciptakan sakit itu. Dia pulalah yang menciptakan ubatnya. Aku ini sebenarnya yang sakit mata hatiku, dan Junaidlah tabibnya."